Kamis, 27 Mei 2010

Noam Chomsky dan perjuangan melawan neoliberalisme Robert W McChesney Yohanes reinnamah colection

Noam Chomsky dan perjuangan melawan neoliberalisme

Robert W McChesney

Yohanes reinnamah colection

Neoliberalisme adalah paradigma ekonomi politik yang mendefinisikan jaman kita - ia mengacu pada berbagai kebijakan dan proses di mana segelintir kepentingan swasta diperbolehkan mengontrol sebesar mungkin kehidupan sosial agar dapat memaksimalkan keuntungan pribadi mereka. Awalnya diasosiasikan dengan Reagan dan Thatcher, selama dua dekade neoliberalisme telah menjadi tren ekonomi politik global yang dominan dan diadopsi oleh partai-partai politik di tengah dan banyak partai-partai kiri tradisional* maupun kanan. Partai-partai ini dan kebijakan yang mereka terapkan mewakili kepentingan mendesak para investor yang sangat kaya berupa perusahaan besar yang jumlahnya kurang dari seribu.

Di samping kalangan akademisi dan anggota komunitas bisnis, istilah neoliberalisme kebanyakan tidak diketahui maupun digunakan oleh khalayak luas, terutama di Amerika Serikat. Di sana justru kebalikannya, inisiatif neoliberal dikarakterkan sebagai kebijakan pasar bebas yang mendorong usaha swasta dan pilihan konsumen, menjunjung tanggung-jawab pribadi dan inisiatif bisnis, dan menghabisi tangan mati pemerintah yang tidak kompeten, birokratik dan parasitik, yang tak pernah dapat berbuat baik bahkan bila niatnya baik, dan itu pun jarang ada. Selama satu generasi, upaya-upaya hubungan masyarakat (public relations) telah memberikan istilah dan ide ini aura yang hampir sakral. Hasilnya, klaim-klaim yang mereka ajukan jarang butuh dibela, dan itu dilakukan untuk merasionalisasikan segalanya dari mengurangi pajak bagi kaum kaya dan mempreteli regulasi lingkungan hidup hingga melucuti pendidikan publik dan program-program kesejahteraan sosial. Memang, segala aktivitas yang dapat mengganggu dominasi korporasi terhadap masyarakat, otomatis dicurigai; karena itu akan mengganggu mekanisme pasar bebas, yang diajukan sebagai satu-satunya hal yang dapat mengalokasikan barang kebutuhan dan jasa secara rasional, adil, dan demokratik. Saat tampil paling lihai, para proponen neoliberalisme terdengar seakan-akan mereka melayani rakyat miskin, lingkungan hidup, dan semua orang ketika mereka menerapkan kebijakan atas nama segelintir kaum kaya.

Konsekuensi ekonomi dari kebijakan-kebijakan hampir di mana pun adalah sama, dan tepat seperti yang bisa kita duga: meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi secara massif, memperparah kesengsaraan negeri-negeri termiskin dan rakyat di dunia secara nyata, bencana bagi lingkungan hidup secara global, ekonomi global yang tak stabil dan bonanza yang tak ada duanya bagi kaum kaya. Dihadapkan pada fakta-fakta ini, para pembela tatanan neoliberal mengklaim bahwa hasil penjarahan terhadap kehidupan rakyat pasti akan menyebar ke massa luas penduduk - asalkan kebijakan neoliberal yang memperparah problem tidak diganggu.

Akhirnya, kaum neoliberal tidak mampu dan tidak menawarkan pembelaan empiris bagi dunia yang sedang mereka buat. Sebaliknya, mereka menawarkan - bahkan menuntut - keyakinan relijius terhadap kebenaran mutlak pasar yang tak diregulasi, yang diambil dari teori-teori abad kesembilan-belas yang sangat sedikit relevansinya dalam dunia nyata. Kartu as terakhir para pembela neoliberalisme, walau demikian, adalah bahwa tidak ada alternatif lain. Masyarakat komunis, demokrasi sosial, dan bahkan negara kesejahteraan yang moderat seperti Amerika Serikat telah gagal, demikian klaim kaum neoliberal, dan para warganya telah menerima neoliberalisme sebagai jalan satu-satunya yang mungkin. Ia mungkin tak sempurna, tapi itulah satu-satunya sistem ekonomi yang mungkin.

Pada awal abad keduapuluh, beberapa kritikus menyebut fasisme sebagai "kapitalisme tanpa sarung tangannya", artinya fasisme adalah kapitalisme murni tanpa hak-hak demokratik dan organisasi. Faktanya, kita mengetahui bahwa fasisme jauh lebih kompleks dari itu. Neoliberalisme, di sisi lain, memang "kapitalisme tanpa sarung tangan." Ia mewakili suatu era di mana kekuatan bisnis lebih kuat dan lebih agresif, serta menghadapi oposisi yang lebih tak terorganisir dibandingkan sebelumnya. Dalam iklim politik ini mereka mencoba menyusun kekuatan politik mereka dalam semua lini yang dimungkinkan, dan sebagai hasilnya kekuatan bisnis semakin sulit ditentang, serta masyarakat sipil (non-pasar, non-komersial, dan demokratik) dapat dikatakan hampir tidak ada.

Justru pada penindasannya terhadap kekuatan-kekuatan non-pasar ini lah kita melihat bagaimana neoliberalisme beroperasi bukan saja sebagai sistem ekonomi, tapi juga sebagai sistem politik dan budaya. Di sini terdapat perbedaan mencolok dengan fasisme, yang berdasarkan rasisme dan nasionalisme membenci demokrasi formal dan gerakan sosial yang sangat termobilisasi. Neoliberalisme berjalan paling baik ketika terdapat demokrasi elektoral, tapi ketika penduduknya dijauhkan dari informasi, akses, dan forum-forum publik yang dibutuhkan bagi partisipasi bermakna dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana dituturkan oleh guru neoliberal Milton Friedman dalam Capitalism and Freedom, karena penciptaan-profit adalah esensi demokrasi, pemerintah mana pun yang mengupayakan kebijakan anti-pasar adalah anti-demokratik, tak peduli sebesar apa pun dukungan rakyat terdidik terhadap mereka. Maka yang terbaik adalah membatasi kerja pemerintahan dalam melindungi kepemilikan swasta dan mempertahankan kontrak perjanjian yang ada, serta membatasi debat politik pada isu-isu yang tak penting. (Persoalan yang penting seperti produksi dan distribusi sumber daya serta organisasi sosial harus ditentukan oleh kekuatan pasar.)

Berbekal pemahaman demokrasi yang sesat ini, kaum neoliberal seperti Friedman tidak keberatan dengan aksi militer penggulingan pemerintahan Allende di Cili yang terpilih secara demokratik, karena Allende mengganggu kontrol bisnis dalam masyarakat Cili. Setelah lima belas tahun berada di bawah kediktatoran yang seringkali brutal dan liar - semuanya atas nama pasar bebas yang demokratik - demokrasi formal dihidupkan kembali pada 1989 dengan konstitusi yang sangat mempersulit, kalau tak bisa dibilang tak memungkinkan, bagi warga negara untuk menentang dominasi militer-bisnis dalam masyarakat Cili. Itulah demokrasi neoliberal secara ringkas: perdebatan remeh-temeh tentang isu-isu yang tak penting oleh partai-partai yang pada dasarnya mengupayakan kebijakan yang sama-sama pro-bisnis, terlepas dari perbedaan formal dan perdebatan kampanye. Demokrasi dibolehkan selama upaya mengontrol bisnis berada di luar pembahasan atau perubahan oleh rakyat, dengan kata lain, selama itu bukan demokrasi.

Sistem neoliberal dengan demikian memiki produk sampingan yang penting dan dibutuhkannya - warga negara yang terdepolitisasi, ditandai oleh apatisme dan kesinisan. Bila demokrasi elektoral hanya berdampak kecil dalam kehidupan sosial, tidaklah rasional memberikannya banyak perhatian; di Amerika Serikat, lahan berkembang-biaknya demokrasi neoliberal, jumlah pemilih dalam pemilihan kongres tahun 1998 mencatat rekor terendah, dengan hanya sepertiga warga dengan hak pilih hadir di tempat pemungutan suara. Walau terkadang ini menjadi kekuatiran partai-partai besar seperti Partai Demokrat AS yang cenderung mengincar suara dari mereka yang dimiskinkan, rendahnya jumlah pemilih cenderung diterima dan didukung oleh kekuatan-kekuatan yang ada sebagai sesuatu yang sangat baik; karena para non-pemilih, bukan kejutan lagi, secara menyolok berasal dari kelas miskin dan pekerja. Kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan minat pemilih dan tingkat partisipasi segera dikebiri sebelum sampai ke arena publik. Di Amerika Serikat, contohnya, dua partai besar yang didominasi kekuatan bisnis, dengan dukungan komunitas korporasi, telah menolak undang-undang reformasi - beberapa diantaranya mereka caci-maki - sehingga tidaklah mungkin membentuk partai politik baru (yang dapat menarik minat non-bisnis) dan membuatnya efektif. Walaupun sering terlihat adanya ketidakpuasan dengan Partai Republikan dan Partai Demokrat, politik elektoral adalah satu arena di mana konsep kompetisi dan pilihan bebas tidak banyak bermakna. Dalam beberapa aspek, kaliber debat dan pilihan dalam pemilihan umum neoliberal cenderung menyerupai negara komunis berpartai-tunggal daripada suatu demokrasi sejati.

Tapi ini belum mengindikasikan dampak berbahaya neoliberalisme dalam budaya politik yang berpusat pada warga. Di satu sisi, ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan neoliberal menghambat segala upaya untuk merealisasikan kesetaraan hukum yang dibutuhkan untuk membuat demokrasi kredibel. Korporasi besar memiliki sumber daya untuk mempengaruhi media dan menguasai proses politik, dan hal itu mereka lakukan. Dalam politik elektoral AS, sebagai satu contoh saja, seperempat dari satu persen warga terkaya di Amerika memberikan 80% dari keseluruhan kontribusi politik individual; sedangkan korporasi menghabiskan lebih banyak uang untuk itu dibandingkan buruh dengan perbandingan sepuluh banding satu. Dalam neoliberalisme ini semua masuk akal; pemilihan umum mencerminkan prinsip pasar, dengan besarnya kontribusi sebanding dengan investasi. Hasilnya, ia memperkuat anggapan bahwa politik elektoral tidak relevan bagi kebanyakan orang dan kekuasaan korporasi tetap terjaga tanpa digugat.

Di sisi lain, agar efektif, demokrasi mengharuskan orang merasakan koneksi dengan sesama warga negara, dan koneksi ini memanifestasikan dirinya melalui beragam organisasi dan institusi non-pasar. Budaya politik yang hidup membutuhkan kelompok-kelompok komunitas, perpustakaan, sekolah umum, organisasi warga, koperasi, tempat pertemuan umum, asosiasi sukarelawan, dan serikat buruh yang memberikan jalan bagi warga untuk bertemu, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan sesamanya. Demokrasi neoliberal, dengan konsep pasar uber alles, membidik sektor ini. Bukannya warga negara, ia menghasilkan konsumen. Bukannya komunitas, ia memproduksi mal-mal belanja. Hasil akhirnya adalah masyarakat yang teratomisasi, terdiri dari individu-individu yang terpisah-pisahkan, yang merasakan demoralisasi dan secara sosial tidak berdaya.

Ringkasnya, neoliberalisme adalah musuh utama dan terdepan bagi demokrasi partisipatoris sejati, bukan saja di Amerika Serikat tapi di seluruh penjuru planet, dan ini akan berlanjut di masa depan. Adalah tepat bahwa Noam Chomsky merupakan tokoh intelektual terdepan di dunia saat ini dalam pertempuran merebut demokrasi dan melawan neoliberalisme. Pada tahun 1960an Chomsky adalah kritikus perang Vietnam utama yang berasal dari AS dan, lebih luas lagi, mungkin merupakan seorang analis paling tajam mengenai kebijakan luar negeri AS yang menghancurkan demokrasi, menghanguskan HAM, dan mengedepankan kepentingan segelintir kaum kaya. Pada tahun 1970an, Chomsky (bersama mitranya, Edward S. Herman) mulai melakukan riset tentang cara-cara media berita AS melayani kepentingan elit dan menghambat kapasitas warga negara dalam mengatur secara sungguh-sungguh kehidupan mereka secara demokratik. Buku mereka yang terbit tahun 1988, Manufacturing Consent masih menjadi titik tolak bagi penyelidikan yang serius mengenai kinerja media berita.

Selama tahun-tahun ini Chomsky, yang dapat dikarakterkan sebagai seorang anarkis atau mungkin lebih akuratnya, sosialis libertarian, ialah seseorang yang vokal, berprinsip, serta secara konsisten dan demokratik menentang dan mengritik negara dan partai politik Komunis dan Leninis. Ia mendidik tak terhitung banyaknya orang, termasuk saya sendiri, bahwa demokrasi adalah batu pijakan yang tak bisa dinegosiasikan dalam masyarakat paska-kapitalis apa pun yang patut diperjuangkan atau menjadi tempat kita menjalani hidup. Pada saat bersamaan, ia mendemonstrasikan absurdnya menyama-nyamakan kapitalisme dengan demokrasi, atau berpikir bahwa masyarakat kapitalis, bahkan dalam situasi terbaiknya, akan membuka akses informasi atau pengambilan keputusan yang melampaui kemungkinan yang paling sempit dan terkontrol. Saya ragu bahwa ada penulis lain, kecuali mungkin George Orwell, yang mendekati Chomsky dalam menghimpun secara sitematis kemunafikan kaum penguasa dan para pakar ideologi di masyarakat Komunis dan kapitalis dengan klaim mereka bahwa demokrasi mereka adalah bentuk paling sejati yang dimungkinkan bagi kemanusiaan.

Pada tahun 1990an, semua ragam tema karya politik Chomsky - dari anti-imperialisme dan analisis kritik media hingga tulisan-tulisan tentang demokrasi dan gerakan buruh - telah dikumpulkan, berkulminasi pada karya seperti Profit Over People, tentang demokrasi dan ancaman neoliberal. Chomsky telah banyak berjasa dalam menghidupkan pemahaman tentang persyaratan sosial bagi demokrasi, dengan menarik pelajaran dari Yunani kuno maupun pemikir-pemikir utama dalam revolusi demokratik dari abad ketujuhbelas dan delapanbelas. Sebagaimana dijelaskannya, tidaklah mungkin menjadi proponen demokrasi partisipatoris dan pada saat bersamaan menjadi kampiun kapitalisme atau masyarakat lainnya yang terbagi-bagi dalam kelas. Dalam melakukan penilaian terhadap perjuangan historis riil untuk demokrasi, Chomsky juga mengungkap bahwa neoliberalisme sama sekali bukan hal baru; ia hanyalah versi terkini dari peperangan yang dilakukan oleh segelintir kaum kaya untuk memangkas hak-hak politik dan kekuasaan warganegara dari kaum yang jumlahnya jauh lebih besar.

Chomsky bisa jadi juga seorang kritik terdepan terhadap mitologi pasar "bebas" alami, yakni hymne gembira yang didesakkan ke kepala kita tentang ekonomi yang kompetitif, rasional, efesien, dan adil. Sebagaimana ditunjukkan oleh Chomsky, pasar hampir selalu tak pernah kompetitif. Sebagian besar ekonomi didominasi oleh korporasi yang massif dengan kontrol luar biasa terhadap pangsa pasar mereka dan oleh karenanya menghadapi sedikit kompetisi berharga seperti yang digambarkan dalam buku-buku pelajaran ekonomi dan pidato-pidato politikus. Lebih jauh lagi, berbagai korporasi pun adalah organisasi yang secara efektif totaliter, beroperasi menurut garis non-demokratik. Dengan ekonomi kita yang berpusat pada institusi seperti itu, sungguh terkompromikanlah kemampuan kita untuk memiliki masyarakat yang demokratik.

Mitologi pasar bebas juga meyakini bahwa pemerintah adalah institusi yang tak efesian dan harus dibatasi, agar tidak merugikan sihir laissez faire alami pasar. Faktanya, sebagaimana ditekankan oleh Chomsky, pemerintah menempati posisi sentral dalam sistem kapitalis modern. Mereka dengan murah hati menyubsidi korporasi dan bekerja untuk mendorong kepentingan korporasi dalam berbagai lini. Korporasi yang diuntungkan oleh ideologi neoliberal faktanya justru sering munafik: mereka menghendaki dan mengharapkan pemerintah untuk mengucurkan dolar pajak ke mereka, dan melindungi pasar mereka dari kompetisi, tapi mereka ingin diyakinkan bahwa pemerintah tidak akan memajaki mereka atau memberi dukungan atas nama kepentingan non-bisnis, terutama kaum miskin dan kelas pekerja. Pemerintah justru lebih besar dari sebelumnya, tapi di bawah neoliberalisme mereka lebih tidak berpura-pura mengakomodasi kepentingan non-korporasi.

Peran sentral pemerintah dan pembuat kebijakan paling nyata terlihat dalam kemunculan ekonomi pasar global. Apa yang dipresentasikan oleh para ideolog pro-bisnis sebagai ekspansi alami pasar bebas melintasi perbatasan, pada faktanya adalah sebaliknya. Globalisasi adalah hasil dari pemerintah-pemerintah adidaya, terutama Amerika Serikat, yang mendorong kesepakatan-kesepakatan dagang dan perjanjian lainnya ke tenggorokan rakyat dunia untuk memudahkan korporasi dan kaum kaya mendominasi ekonomi-ekonomi bangsa di seluruh dunia tanpa bertanggung-jawab apa pun terhadap rakyat-rakyat bangsa tersebut. Proses ini tampak paling jelas dalam pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia pada awal 1990an dan kini dalam perumusan rahasia atas nama Kesepakatan Investasi Multilateral (MAI).

Sesungguhnya, salah satu ciri paling menyolok dari sistem ini adalah kemampuannya mengebiri diskusi dan debat yang jujur dan terbuka tentang neoliberalisme di Amerika Serikat maupun tempat lainnya. Kritik Chomsky terhadap tatanan neoliberal secara efektif berada di luar jangkauan analisa mainstream meskipun tersedia landasan empiris yang kuat dan berkomitmen pada nilai-nilai demokratik. Di sini, analisa Chomsky tentang sistem doktrinal dalam demokrasi kapitalis menjadi berguna. Korporasi media berita, industri Humas, ideolog-ideolog akademisi, dan budaya intelektual menuliskan sandiwara besar untuk menyajikan "ilusi yang dibutuhkan" agar situasi yang tak dapat ditolerir ini tampil seolah-olah rasional, berlandaskan niat-baik, dan dibutuhkan (kadang perlu tampil diinginkan). Sebagaimana buru-buru ditunjukkan oleh Chomsky, ini bukan konspirasi formal oleh kepentingan besar, karena tak perlu seperti itu. Melalui beragam mekanisme institusional, dikirimkan sinyal-sinyal kepada para intelektual, komentator, dan wartawan, untuk mendorong agar status quo terlihat sebagai pilihan terbaik di antara yang mungkin. Diupayakan pula agar mereka yang diuntungkan oleh status quo dijauhkan dari tantangan. Karya Chomsky adalah seruan langsung bagi para aktivis demokratik untuk membangun kembali sistem media kita agar terbuka bagi perspektif dan penyelidikan anti-korporasi dan anti-neoliberal. Ini juga suatu tantangan bagi semua intelektual, atau setidaknya mereka yang menyatakan berkomitmen terhadap demokrasi, untuk berkaca langsung di hadapan cermin dan menanyakan diri mereka sendiri kepentingan siapa, dan untuk nilai-nilai apa, mereka melakukan pekerjaan mereka.

Deskripsi Chomsky tentang cengkraman neoliberal/korporasi dalam ekonomi, kebijakan, jurnalisme, dan budaya kita begitu kuat dan menimbulkan keprihatinan sehingga bagi beberapa pembaca itu dapat menciutkan nyali. Dalam masa politik yang mendemoralisir ini, beberapa pihak dapat mengambil langkah berikutnya dengan menyimpulkan bahwa kita terjebak dalam sistem yang regresif ini karena, sayangnya, umat manusia praktis tak mampu menciptakan tatanan sosial yang lebih manusiawi, egalitarian dan demokratik.

Faktanya, kontribusi terbesar Chomsky mungkin terletak pada penekanannya pada kecenderungan demokratik yang fundamental dalam rakyat di dunia, dan potensi revolusioner yang tersirat dalam denyut tersebut. Bukti terbaik tentang kemungkinan ini adalah begitu bersusah-payahnya korporasi mencegah berdirinya demokrasi politik yang sejati. Para penguasa dunia memahami secara implisit bahwa sistem mereka didirikan untuk memenuhi kebutuhan segelintir, bukan banyak orang, dan bahwa orang yang lebih banyak tersebut tidak dapat dibolehkan mempertanyakan atau mengubah kekuasaan korporasi. Bahkan dalam demokrasi tambalan yang memang ada, komunitas korporasi bekerja tanpa henti untuk mengawasi agar isu-isu penting seperti MAI tidak pernah diperdebatkan secara umum. Dan komunitas bisnis membelanjakan uang yang sangat banyak untuk menyewa aparat humas untuk meyakinkan rakyat Amerika bahwa yang ada adalah yang terbaik dari segala yang mungkin. Menurut logika ini, kemungkinan perubahan sosial yang lebih baik perlu ditakuti bila komunitas korporasi meninggalkan humasnya dan tak lagi menyogok pemilu, membolehkan media representatif, dan tak keberatan mendirikan demokrasi partisipatoris egalitarian sejati karena ia tak lagi takut pada kekuatan rakyat banyak.

Pesan-pesan neoliberalisme yang paling lantang adalah bahwa tidak ada lagi alternatif terhadap status-quo, dan bahwa umat manusia telah mencapai tingkat yang tertinggi. Chomsky menunjukkan bahwa terdapat beberapa periode lain sebelumnya yang dinyatakan sebagai "akhir sejarah". Pada tahun 1920an dan 1950an, contohnya, kaum elit AS mengklaim bahwa sistem yang ada berjalan baik dan kejinakan massa mencerminkan kepuasan meluas terhadap status quo. Peristiwa yang terjadi tak lama setelah itu membuat terang benderang ketololan keyakinan tersebut. Dugaan saya adalah bila kekuatan demokratik mencatat sedikit saja kemenangan nyata, darah pun segera mengalir kembali dalam nadi mereka, dan pembicaraan tentang tidak adanya harapan untuk perubahan akan bernasib sama seperti fantasi-fantasi kaum elit sebelumnya tentang kejayaan kekuasaan mereka yang akan berlangsung selama seribu tahun.

Pandangan bahwa tidak ada alternatif yang lebih baik terhadap status quo justru saat ini lebih parah dibandingkan sebelumnya, dalam era di mana terdapat teknologi-teknologi yang susah diterima akal dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kondisi manusia. Benar bahwa masih belum jelas bagaimana kita dapat mendirikan tatanan paska-kapitalis yang dimungkinkan, bebas, dan manusiawi; pandangan itu memiliki kesan utopia. Tapi tiap langkah maju sejarah, dari pengakhiran perbudakan dan pendirian demokrasi untuk mengakhiri kolonialisme formal, pada titik tertentu harus menaklukkan anggapan bahwa hal tersebut tak mungkin karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Sebagaimana ditunjukkan oleh Chomsky, aktivisme politik terorganisir berjasa atas tingkat demokrasi yang kita miliki saat ini, hak pilih universal bagi orang dewasa, hak-hak perempuan, serikat buruh, hak-hak sipil, kebebasan yang kita nikmati. Bahkan bila pandangan tentang masyarakat paska-kapitalis tampaknya tak tercapai, kita tahu bahwa aktivitas politik manusia dapat membuat dunia tempat kita tinggal menjadi sangat manusiawi. Ketika kita mencapai titik tersebut, mungkin kita akan dapat kembali memikirkan tentang pembangunan ekonomi politik yang berdasarkan pada prinsip kerjasama, persamaan, pemerintahan swadaya, dan kebebasan individu.

Hingga saat itu tiba, perjuangan untuk perubahan sosial bukanlah persoalan hipotetik. Tantangan neoliberal saat ini telah menyebabkan krisis politik dan ekonomi yang massif dari Asia timur ke Eropa timur dan Amerika Latin. Kualitas kehidupan di negeri-negeri maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Utara sangat rapuh dan masyarakatnya berada dalam keresahan yang cukup berarti. Pergolakan besar menghantui tahun-tahun dan dekade ke depan. Terdapat keraguan yang cukup besar tentang kelanjutan dari pergolakan itu, dan sedikit saja alasan untuk memikirkan itu akan otomatis berujung pada resolusi yang demokratik dan manusiawi. Itu akan ditentukan oleh bagaimana kita, sebagai rakyat, mengorganisir diri, merespon, dan beraksi. Seperti dikatakan Chomsky, bila kau beraksi layaknya tak ada perubahaan yang lebih baik, maka kau menjamin bahwa tidak ada perubahan yang lebih baik. Pilihan ada pada kita, pilihan ada pada Anda.

Kiri tradisional yang dimaksud adalah partai-partai komunis peninggalan perang dingin.

Robert W McChesney ialah seorang profesor Komunikasi di University of Illinois, mantan editor Monthly Review, dan kini aktif dalam Institute of Public Accuracy

Apakah pertanian termasuk lahan kapitalis? Ian Angus Di rangkum oleh yohanes reinnamah

Apakah pertanian termasuk lahan kapitalis?

Ian Angus

Di rangkum oleh yohanes reinnamah

"Kalau pemerintah tak bisa menurunkan biaya hidup, minggatlah saja. Kalau polisi dan pasukan PBB mau menembak kami, itu tidak apa, karena akhirnya, kalau kami tak mati oleh peluru, kami akan mati kelaparan." - seorang demonstran di Port-au-Prince, Haiti

Di Haiti, sebagian besar rakyat kekurangan kalori sebesar 22 % dari jumlah minimum yang dibutuhkan untuk hidup sehat. Mereka harus mengatasi kelaparannya dengan memakan “biskuit lumpur,” yang dibuat dengan mencampurkan tanah liat, air, sedikit minyak sayur dan garam.

Sementara di Kanada, pemerintah federal bersedia membayar $225 untuk setiap babi yang dibunuh. Kebijakan khusus ini dibuat untuk menekan angka babi ternak yang terus melonjak. Sementara para peternak babi yang selama ini tertekan harga pakan yang amat tinggi menyambut dengan antusias kebijakan ini. Para peternak diperkirakan akan menghabiskan alokasi dana jauh sebelum program berakhir pada September 2008 mendatang.

Sebagian babi yang dijagal dapat diberikan kepada Bank-Bank Pangan setempat, tapi sebagian besar akan dimusnahkan atau dijadikan makanan hewan peliharaan. Yang ironis, tidak ada yang dikirim ke Haiti.

Inilah dunia brutal pertanian kapitalis – suatu dunia di mana sebagian orang memusnahkan pangan karena harganya terlalu rendah, dan lainnya secara harafiah harus makan tanah karena harga pangan terlalu tinggi.

Rekor Harga Bahan Pangan Pokok

Saat ini dunia sedang mengalami krisis inflasi harga pangan seperti belum pernah ada sebelumnya. Kondisi ini telah menyebabkan harga melonjak ke tingkat tertinggi selama beberapa dekade terakhir. Kenaikan ini memengaruhi nyaris semua jenis pangan termasuk yang terpenting- Gandum, Jagung, dan Beras.

Organisasi Pangan dan Agrikultur PBB (FAO) mengatakan bahwa antara Maret 2007 dan Maret 2008 harga-harga biji-bijian (cereal) meningkat sebesar 88%, minyak nabati dan hewan 106%, dan produk susu 48%. Indeks harga pangan FAO secara keseluruhan naik 57% dalam setahun – dan sebagian besar kenaikkannya terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini.

Sumber lain, Bank Dunia, mengatakan bahwa dalam jangka waktu 36 bulan yang berakhir pada Februari 2008, harga gandum global naik 181% dan keseluruhan harga pangan global naik sebesar 83%. Bank Dunia memperkirakan harga sebagian besar pangan berada di atas tingkat tahun 2004 hingga setidaknya tahun 2015.

Harga beras Thailand yang lima tahun lalu hanya $198 per tonnya, mengalami kenaikan hingga $323 per ton tahun lalu. Pada 24 April 2008, harga itu melonjak secara mencengangkan menjadi $1000.

Kenaikan ini bahkan lebih tinggi di pasar lokal – di Haiti, harga pasaran 50 kilo karung beras naik berlipat kali dalam satu minggu pada akhir Maret 2008.

Bagi 2,6 milyar penduduk dunia, kenaikan harga ini adalah sebuah bencana. Rata-rata mereka hidup dengan kurang dari US$2 setiap harinya. 60 %-80% dari penghasilan itu harus mereka sisihkan hanya untuk makan. Dari angka ini dapat dilihat ratusan juta orang terancam kelaparan. Bulan ini, kaum lapar melawan balik.

Turun ke Jalan

Di Haiti, 3 April, para demonstran di kota selatan Les Cayes membangun barikade. Mereka menghentikkan truk-truk pengangkut beras dan membagi-bagikan bahan makanan yang ada di atasnya, sebagian bahkan mencoba membakar kompleks PBB.

Gelombang protes segera menjalar ke ibukota, Port-au-Prince, di mana ribuan orang berjalan menuju istana presiden meneriakkan yel-yel “Kami lapar!” Banyak orang menyerukan penarikan pasukan PBB dan kembalinya Jean-Bertrand Aristide, presiden dalam pengasingan yang pemerintahannya dijatuhkan oleh kekuatan asing pada 2004.

Presiden Rene Preval, yang awalnya mengatakan tak ada yang dapat dilakukan, telah mengumumkan pemotongan harga beras grosiran sebesar 16%. Ini tidak lebih dari sekedar tambal sulam, karena penurunan tersebut hanya untuk sebulan, dan pengecer tak diharuskan menurunkan harga mereka.

Aksi-aksi di Haiti ini paralel dengan protes serupa oleh rakyat lapar di lebih dari dua puluh negeri lainnya.

* Di Burkino Faso, pemogokan umum selama dua hari oleh serikat buruh dan pegawai toko menuntut penurunan yang “signifikan dan efektif” terhadap harga beras dan makanan pokok lainnya.

* Di Bangladesh, lebih dari 20,000 buruh pabrik tekstil Fatullah mogok untuk menuntut penurunan harga dan kenaikan gaji. Mereka melempar bata dan batu kepada polisi, yang menembakkan gas air mata ke kerumunan massa.

* Pemerintah Mesir mengirimkan ribuan pasukan ke kompleks tekstil Mahalla di Delta Sungai Nil, untuk mencegah pemogokan umum menuntut kenaikkan upah, serikat buruh independen, dan penurunan harga-harga. Dalam peristiwa ini dua orang terbunuh dan sekitar 600 lainnya dipenjarakan.

* Di Abidjan, Pantai Gading, polisi menembakkan gas air mata ke arah para perempuan yang mendirikan barikade, membakar ban dan menutup jalanan utama. Ribuan orang berjalan menuju rumah Presiden sambil meneriakkan yel-yel “Kami lapar,” dan “Hidup jadi terlampau mahal, kalian membunuhi kami.”

* Di Pakistan dan Thailand, tentara bersenjata telah ditempatkan untuk mencegah kaum miskin menjarah makanan dari ladang dan gudang.

Protes serupa terjadi di Kamerun, Ethiopia, Honduras, Indonesia, Madagaskar, Mauriatania, Nigeria, Peru, Filipina, Senegal, Thailand, Uzbekistan, dan Zambia. Pada 2 April, presiden Bank Dunia berkomentar dalam suatu rapat di Washington bahwa terdapat 33 negeri di mana kenaikkan harga menyebabkan keresahan sosial.

Seorang Editor Senior majalah Time memperingatkan:

“Gambaran tentang gerombolan massa yang lapar yang didorong keputusasaannya turun ke jalan dan menggulingkan ancien regime kedengaran sebagai sesuatu yang nyaris mustahil sejak kapitalisme menang telak dalam Perang Dingin…Tetapi dalam kenyataannya, beberapa tajuk utama surat kabar dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan makin banyak negara terancam stabilitasnya sebagai akibat membengkaknya harga pangan....ketika keadaan tidak memungkinkan seseorang memberi makan anak-anaknya yang kelaparan, warga yang biasanya pasif dapat segera menjadi militan tanpa takut kehilangan apa pun."[2]

Apa Yang Mendorong Inflasi Pangan?

Sejak 1970an, produksi pangan semakin mendunia dan terkonsentrasi. Segelintir negeri mendominasi perdagangan makanan pokok di dunia. 80% ekspor gandum berasal dari enam negeri exportir, demikian pula halnya dengan 85% beras. Tiga negeri memproduksi 70% ekspor jagung.

Nasib negeri-negeri termiskin dunia yang bergantung pada impor makanan, mau tak mau tergantung pada kebijakan serta keadaan ekonomi para negara eksportir. Ketika sistem perdagangan pangan global berhenti memasok, kaum miskinlah yang harus menanggung akibatnya.

Selama bertahun-tahun, perdagangan global makanan pokok sedang menuju sebuah krisis. Empat kecenderungan yang saling berhubungan telah memperlambat perkembangan produksi dan melambungkan harga-harga.

Berakhirnya Revolusi Hijau: Pada tahun 1960an dan 1970an, sebagai upaya menangkal keresahan petani di Asia Selatan dan Tenggara, AS mengucurkan dana dan dukungan teknologi untuk pengembangan pertanian di India dan negeri-negeri lainnya. "Revolusi hijau" - benih, pupuk, pestisida, teknik pertanian dan infrastruktur yang baru - membawa peningkatan produksi pangan secara spektakuler, terutama beras. Hasil panen per hektar terus meningkat hingga 1990an.

Saat ini para pemerintah tak lagi mau menolong rakyat miskin membudidayakan pangan untuk rakyat miskin lainnya. Mereka cenderung memalingkan muka karena menganggap “pasar” lah yang bertanggung jawab menyelesaikan semua permasalahan itu.

The Economist melaporkan bahwa “di negara-negara berkembang, alokasi pengeluaran untuk belanja di bidang pertanian berkurang hingga setengahnya antara 1980 dan 2004.“ [3] Subsidi dan dana riset dan pengembangan (R&D) telah mengering, dan pertumbuhan produksi pun mandek.

Akibatnya, dalam tujuh dari delapan tahun terakhir, dunia mengonsumsi jauh lebih banyak biji-bijian dibanding yang diproduksinya. Ini berarti pemerintah dan para pengecer tak lagi dapat menyisihkan sebagian beras untuk berjaga-jaga menghadapi kemungkinan gagal panen.

Perubahan Iklim: Para ilmuwan mengatakan bahwa perubahan iklim dapat memangkas produksi pangan di berbagai wilayah di dunia hingga 50% dalam 12 tahun ke depan. Tapi itu bukan sekedar masalah di masa depan:

*Sebelumnya, Australia adalah eksportir bijih-bijihan kedua terbesar di dunia, tapi kekeringan parah bertahun-tahun telah mengurangi hasil gandum
hingga 60% dan menghapuskan sepenuhnya produksi beras di benua kangguru.

*Pada bulan November lalu, salah satu bencana angin topan terhebat melanda Bangladesh. Dan menyapu habis jutaan ton beras, dan merusak panen
gandum. Mengakibatkan negara ini makin tergantung pada impor makanan. Banyak contoh lainnya. Jelaslah bahwa krisis iklim global telah hadir dan
berdampak pada pangan.

Bahan Bakar Agro (Agrofuels): Kini sudah menjadi kebijakan resmi di AS, Kanada, dan Eropa untuk mengalihkan pangan menjadi bahan bakar. Kendaraan di AS membakar jagung yang jumlahnya cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan impor 82 negeri termiskin di dunia. [4]

Ethanol dan biodiesel disubsidi secara besar-besaran, yang artinya, tak terhindarkan lagi peralihan tanaman pangan seperti jagung (maize) keluar dari rantai makanan dan ke dalam tangki bensin, dan bahwa investasi pertanian baru di dunia sedang diarahkan menuju kelapa sawit, canola dan tumbuhan penghasil minyak lainnya. Permintaan terhadap bahan bakar agro secara langsung meningkatkan harga tanaman tersebut, dan secara tak langsung melonjakkan harga bijih-bijihan lainnya dengan mendorong petani beralih kepada budidaya bahan bakar agro.

Sebagaimana dihadapi oleh produsen babi Kanada, hal itu juga meningkatkan biaya produksi daging, karena jagung adalah bahan pakan ternak utama di Amerika Utara.

Harga Minyak: Harga pangan berhubungan dengan harga minyak karena pangan dapat dijadikan pengganti minyak. Tapi peningkatan harga minyak juga mempengaruhi biaya produksi pangan. Pupuk dan pestisida dibuat menggunakan petroleum dan gas alam. Bahan bakar bensin dan diesel digunakan dalam proses penanaman, panen, dan pengapalan.[5]

Diperkirakan 80% biaya budidaya jagung berasal dari biaya bahan bakar fosil - maka bukan kebetulan bahwa harga pangan naik ketika harga minyak naik.

* * *

Pada akhir 2007, penurunan investasi pertanian dunia ketiga, kenaikan harga minyak, dan perubahan iklim berarti bahwa pertumbuhan produksi melambat dan harga-harga melambung. Panen yang berhasil dan pertumbuhan ekspor yang kuat dapat saja meredam krisis - tapi bukan itu yang terjadi. Pemicunya adalah beras, makanan pokok tiga milyar rakyat.

Awal tahun ini, India mengumumkan akan membatalkan sebagian besar ekspor berasnya untuk membangun kembali cadangan berasnya. Beberapa minggu kemudian, Vietnam, yang tanaman padinya dihantam wabah serangga saat panen, mengumumkan penghentian ekspor selama empat bulan untuk menjamin persediaan cukup bagi pasar domestiknya.

India dan Vietnam adalah penyumbang 30 % ekspor beras dunia, pengumuman kebijakan ini mendorong pasar beras global ke pinggir jurang.

Pembeli beras segera membeli persediaan yang ada, menimbun beras apa pun dengan harapan harga akan meningkat di masa depan; mereka juga mengajukan penawaran berharga tinggi terhadap tanaman pangan di masa depan.

Harga-harga meroket. Pada pertengahan April, laporan berita menggambarkan "pembelian yang panik" terhadap kontrak penjualan beras masa depan [ijon, pen.] (futures) di Meja Dagang Chicago, dan terjadi kelangkaan beras bahkan di rak-rak supermarket di Kanada dan AS.

Mengapa terjadi pemberontakan?

Lonjakan harga pangan bukannya tak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan jika kita membandingkan tingkat inflasi, harga pangan jauh lebih tinggi pada 1970-an. Namun mengapa lonjakan harga kali ini lebih banyak mengundang protes massa di seluruh dunia?

Jawabannya, sejak 1970an negeri-negeri terkaya di dunia dengan bantuan agen-agen internasional yang dikuasainya, telah secara sistematis menghancurkan kemampuan negeri-negeri termiskin dalam mencukupi kebutuhan pangan penduduknya dan dalam melindungi diri pada saat krisis seperti kini.

Haiti adalah satu contoh kuat yang memprihatinkan.

Beras telah dibudidayakan di Haiti selama berabad-abad, dan hingga sekitar dua puluh tahun lalu petani Haiti memproduksi sekitar 170.000 ton beras per tahun, cukup untuk memasok 95% konsumsi domestik. Petani beras tidak menerima subsidi pemerintah, tapi, layaknya sebuah negeri produsen beras saat itu, akses mereka terhadap pasar dilindungi oleh tarif impor.

Pada 1995, sebagai syarat mendapatkan pinjaman yang sangat dibutuhkan, Dana Moneter Internasional (IMF) mengharuskan Haiti memangkas tarif impor berasnya dari 35% menjadi 3%, terendah di Karibia. Akibatnya adalah masuknya beras AS secara massal. Beras impor ini dijual setengah harga dari beras yang dibudidayakan di Haiti. Ribuan petani beras kehilangan lahan dan penghidupannya dan kini tiga-perempat beras yang dimakan di Haiti berasal dari AS. [6]

Beras AS mengambil alih pasar Haiti bukan karena rasanya lebih enak, atau karena petani beras AS lebih efesien. Ia dimenangkan karena ekspor beras disubsidi secara besar-besaran oleh pemerintah AS. Pada 2003, petani beras AS menerima subsidi pemerintah sebesar $1,7 milyar, dengan rata-rata $232 per hektar beras yang dibudidayakan. [7] Dana tersebut, yang kebanyakan mengalir ke pemilik tanah yang sangat besar (very large landowners) dan korporasi agrobisnis, memungkinkan eksportir AS menjual beras seharga 30% hingga 50% di bawah biaya produksi yang sesungguhnya.

Pendeknya, Haiti dipaksa untuk meninggalkan proteksi pertanian domestik dari pemerintahnya - dan AS kemudian menggunakan pemerintahnya untuk memproteksi rencana-rencana mereka dalam mengambil alih pasar.

Terdapat banyak variasi dalam tema ini, dengan negeri kaya di utara memaksakan kebijakan "liberalisasi" kepada negeri-negeri selatan yang miskin dan dililit hutang dan kemudian memanfaatkan liberalisasi itu untuk menangkap pasar. Di 30 negeri terkaya di dunia, subsidi pemerintah mencapai 30% dari pemasukan usaha-usaha pertanian (farm), bertotalkan US$ 280 milyar per tahun, [8] suatu keuntungan yang tak tertandingi dalam pasar "bebas" di mana yang kaya menulis aturan mainnya.

Permainan dagang pangan dunia dipenuhi kecurangan, dan yang tersisa bagi yang miskin adalah semakin berkurangnya tanaman dan tiadanya perlindungan.

Sebagai tambahan, selama beberapa dekade, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional telah menolak memberikan pinjaman kepada negeri-negeri miskin kecuali bila mereka menyetujui "Program Penyesuaian Struktural - Structural Adjustment Programs" (SAP) yang mengharuskan penerima pinjaman mendevaluasi mata uangnya, memotong pajak, memprivatisasi usaha kepentingan umum, dan mengurangi atau mengeliminasi program-program bantuan kepada petani.

Ini semua dilakukan dengan janji bahwa pasar akan memberikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan - tapi sebaliknya, kemiskinan justru meningkat dan bantuan terhadap pertanian dihapuskan.

"Investasi terhadap paket-paket input dan ekstensi bantuan pertanian semakin berkurang dan akhirnya hilang di sebagian besar wilayah pedesaan di Afrika di bawah SAP. Upaya untuk meningkatkan produktivitas pemodal kecil telah ditinggalkan. Bukan saja pemerintah menguranginya, bantuan asing di bidang pertanian pun menyusut. Pendanaan Bank Dunia terhadap pertanian sendiri berkurang secara terhitung sebesar 32% dari pinjaman total pada 1976-8 hingga 11,7% pada 1997-9."[9]

Dalam gelombang inflasi harga pangan sebelumnya, kaum miskin setidaknya sering kali memiliki akses terhadap pangan yang mereka budidayakan sendiri, atau pangan yang dibudidayakan secara lokal dan tersedia dalam harga yang ditetapkan secara lokal. Kini, di banyak negeri di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, hal tersebut tidak lagi dimungkinkan. Pasar global kini menentukan harga lokal - dan sering kali satu-satunya pangan yang tersedia harus diimpor dari jauh.

* * *

Pangan bukan sekedar komoditas lainnya - ia adalah mutlak dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Hal minimal yang seharusnya dilakukan setiap pemerintahan atau sistem sosial yang ada adalah agar ia berupaya mencegah kelaparan - dan di atas segalanya agar ia tidak mengedepankan kebijakan yang merampas makanan dari rakyat lapar.

Oleh karena itu presiden Venezuela Hugo Chavez sangatlah tepat ketika pada 24 April menggambarkan krisis pangan sebagai "demonstrasi terhebat kegagalan historik model kapitalis."Apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri krisis ini, dan bagaimana memastikan hal tersebut tak terjadi kembali?