Pelayanan Gereja di Era Modern
Oleh: Yohanes Reinnamah
Setiap era baru seyogyanya menghasilkan suatu bentuk kekreatifan, inovasi di dalam dunia teologi. Bahwa perubahan paradigma tidak berarti kontinuitas dengan paradigma yang lalu telah putus sama sekali. Perubahan paradigma biasanya berarti pergeseran paradigma (paradigm shift). Yang penting bukan merancangkan sesuatu yang sama sekali baru melainkan "menemukan kembali" dan "merumuskan kembali" tradisi sebagai data yang tersedia.
Apabila kita berbicara mengenai pelayanan Gereja maka umumnya dikemukakan tiga dimensi pelayanan yang juga disebut "tridarma Gereja", yaitu marturia yang umumnya berarti "kesaksian", koinonia yang umumnya berarti "persekutuan" dan diakonia yang umumnya berarti "pelayanan". Marturia biasanya berhubungan dengan aspek ritual dan kesaksian terhadap dunia luar, koinonia dengan aspek institusional dan pembinaan kehidupan bersama, sedangkan diakonia dengan aspek etis dan pelayanan sosial. Dalam perkembangan kemudian di dalam gereja-gereja Protestan tridarma ini sangat dipengaruhi oleh tekanan pada pemberitaan firman Allah sebagai satu-satunya hal yang penting dan mendasar. Batas-batas tridarma akhirnya menjadi kabur dan ditentukan oleh pemberitaan firman. Marturia dipersempit menjadi kesaksian yang berkaitan dengan kebenaran firman Allah, koinonia merupakan persekutuan di sekitar firman Allah, kasarnya kebaktian, sedangkan diakonia menjadi pelayanan firman Allah. Malahan kalau orang di kalangan gereja berbicara mengenai "pelayanan", maka maksudnya bukan diakonia, melainkan "kebaktian/ibadah". Meskipun dalam pembinaan-pembinaan warga gereja tridarma selalu ditekankan, dalam praktik tridarma telah dipersempit menjadi "eka darma", yaitu pemberitaan saja! Penyempitan tridarma yang dikontrol oleh sentralitas pemberitaan firman ini memang perlu diakhiri. Namun yang penting adalah tetap menghargai tridarma ini dan merumuskannya kembali di dalam situasi baru yang telah digambarkan dengan panjang lebar di atas.
Bagaimanakah situasi Gereja di Indonesia dalam situasi baru ini? Kita dapat mengatakan bahwa di Indonesia yang merupakan bagian dari dunia ketiga, gambaran dunia yang dominan adalah gambaran dunia sosial-budaya. Aspirasi masyarakat atau rakyat dianggap mewakili gambaran dunia ini. Teologi harus bisa merangkum aspirasi ini. Kalau tidak maka teologi itu tidak bisa dikatakan teologi yang kontekstual. Maka berteologi secara kontekstual atau kontekstualisasi tidak berarti bagaimana sebuah bangunan mental teologi yang sudah ada (dan seringkali salah dipahami sebagai "iman") diterapkan ke dalam konteks Indonesia, melainkan bagaimana konteks kita di Indonesia melahirkan teologi! Bangunan mental teologi yang saya sebutkan ini lahir dalam konteks perdebatan orang Kristen dengan dunia sains di dunia Barat. Itulah teologi kontekstual Barat. Hasilnya adalah tiga sikap : yang pertama sikap liberal yang terbuka pada perkembangan sains dan pengaruhnya di dalam masyarakat, sedangkan yang kedua adalah sikap konservatif yang terbuka namun bersikap kritis terhadap gambaran dunia sains. Yang ketiga adalah sikap fundamentalistik yang menutup diri terhadap gambaran dunia sains. Meskipun menarik untuk menyimak ketiga sikap ini dalam sejarah perkembangan gereja di Barat, saya mau menekankan bahwa pergumulan gereja di dunia pertama (Barat) tidak sama dengan pergumulan gereja di dunia ketiga (Timur). Maka "perang" yang sering digambarkan di dunia ketiga di antara kaum liberal dan kaum konservatif misalnya merupakan perang aneh, sama seperti ketika orang-orang Indian menyaksikan Inggris dan Perancis berperang memperebutkan daerah-daerah di sekitar danau-danau besar di Amerika Utara di zaman pra-kemerdekaan USA, atau orang-orang kulit hitam menyaksikan "perang Boer" di antara orang Inggris dan orang Belanda di Afrika Selatan pada permulaan abad XX. Kata mereka itu perang "kulit putih". Pokok persoalan dan kepentingannya bukan berasal dari rakyat atau masyarakat setempat, tetapi akhirnya yang menjadi korban terparah adalah rakyat atau masyarakat setempat yang kulitnya tidak putih! Demikian juga "perang teologi" yang diimpor ke dalam situasi dunia ketiga pastilah akan membuat korban berupa anggota-anggota masyarakat dunia ketiga, entah mereka mengambil sikap liberal, konservatif atau fundamentalis. Bahkan sikap fundamentalistik yang suka digambarkan sebagai perlawanan terhadap gambaran dunia sains, dalam praktik sebenarnya bergerak dengan menggunakan wawasan sains pula. Ia melawan gambaran dunia sains dengan memanfaatkan gambaran dunia sains melalui teori tertentu yang disebut "inerrancy principle", yang dalam bentuknya yang lebih canggih daripada yang sekadar bertahan pada gambaran dunia non-sains, dalam hal ini berusaha agar teks Alkitab dibaca menurut kaca mata orang yang menerima gambaran dunia sains! Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati ironi berupa penafsiran kitab Kejadian fasal 1-3 yang menyamakan "cakrawala" (Ibr : haraqia) dengan misalnya lapisan ozoon (hasil penemuan sains) dan durasi penciptaan selama enam hari yang ditafsirkan di antara enam juta sampai enam puluh juta tahun (yang juga merupakan hasil penemuan sains). Kalau tekanan berteologi dalam konteks adalah sekadar menerapkan teologi ke dalam konteks (yang merupakan idea yang amat biasa di kalangan misiologi di Indonesia) maka interaksi yang diharapkan dengan realitas sosial-budaya Indonesia justru tidak terjadi, oleh karena persoalan-persoalan dari teologi yang sudah "ready-made" tersebut bukan persoalan-persoalan autentik yang berasal dari gambaran dunia sosial-budaya Indonesia!
Marilah kita mencoba membayangkan bagaimanakah tridarma Gereja akan dirumuskan kembali di dalam kehidupan berjemaat sesuai wawasan gambaran dunia sosial-budaya Indonesia. Dalam kesempatan ini tidak mungkin saya membahas ketiga dimensi tridarma Gereja dengan lengkap. Saya tidak bermaksud meremehkan marturia dan koinonia, namun yang akan saya bahas hanyalah dimensi diakonia saja. Dalam sejarah gereja arti diakonia juga telah mengalami penyempitan. Dari maknanya berupa "pelayanan meja" yang berarti pelayanan sosial oleh pelayan-pelayan khusus yang disebut diakonos (diaken, syamasy) di dalam Kisah Para Rasul, diakonia akhirnya menjadi pelayanan ala kadarnya terhadap beberapa janda, piatu dan "warga rimatan". Tidak ada jumlah yang signifikan dalam anggaran jemaat untuk diakonia, dibandingkan misalnya untuk pembangunan gedung gereja (dimensi marturia - aspek ritual) atau penggajian personalia (dimensi koinonia - aspek institusional). Penyempitan makna ini sudah dikecam oleh teologi pembebasan, yang amat memperhatikan dimensi diakonia - aspek etis dari Gereja. Di dalam wawasan teologi pembebasan, diakonia harus didasari oleh prinsip “bergerak di atas wawasan keadilan”. Maka berkat kecaman teologi pembebasan ini maka secara teoretis banyak orang Kristen di Indonesia sudah tahu bahwa diakonia harus bersifat karitatif, reformatif dan transformatif. Jasa teologi pembebasan dalam perluasan wawasan pemahaman diakonia ini amat besar dan tidak ada maksud saya untuk meremehkannya.
Tetapi sama halnya dengan kekurangan-kekurangan yang sudah disebutkan di atas, penerapan teologi pembebasan dalam konteks
Pelaksanaan Diakonia yang Kontekstual
Bagaimanakah menjalankan diakonia yang bersifat karitatif, reformatif dan transformatif di dalam konteks gambaran dunia sosial budaya yang mewakili realitas Indonesia? Pertama, prinsip preferential berjalan pada jalan keadilan tetap menjadi pegangan utama di dalam diakonia kontekstual ini. Tetapi prinsip ini bertolak dari Gereja sebagai bagian dari "tubuh yesus" atau minimal Gereja yang sudah bergerak dari "Church for the Poor" menjadi "Church of the Poor". Dalam banyak refleksi teologis di Indonesia pengaruh perumusan Dietrich Bonhoeffer mengenai Gereja sebagai "Church for others" dipergunakan dalam kerangka berteologi untuk membebaskan. Sekarang setelah dokumentasi mengenai latar belakang Bonhoeffer lebih terbuka untuk penelitian, orang mulai menyadari bahwa teolog sekaliber Bonhoeffer sekalipun tetap berfikir teologis menurut latar belakang tertentu, dalam hal ini masyarakat "burgher" di Jerman, yang jelas tidak termasuk kalangan petani dan nelayan, dan tidak menganut agama rakyat. Bonhoeffer berpikir mengenai Gereja sebagai kelompok orang idealistik yang
Berkorban bagi yang lain. Pikiran ini amat mulia, apalagi dibuktikan dengan hidup Bonhoeffer sendiri yang akhirnya dibunuh oleh kaum Nazi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya berdiakonia dengan landasan "Church for the poor"dalam konteks Indonesia amat rawan, sebab Gereja mengandalkan bantuan dari luar negeri, padahal bantuan ini sering tidak sampai karena akhirnya Gereja yang menentukan berapa yang harus diterima oleh orang miskin. Kalau sudah demikian masalahnya, maka dapat dikatakan bahwa Gereja telah ketularan penyakit sosial yang membuat orang tidak memperhatikan lagi aspirasi keseluruhan masyarakat dan rakyat Indonesia, yaitu KKN yang amat umum di zaman Orde Baru dan yang juga masih terasa di dalam era Reformasi ini!
Kedua, berdasarkan pengamatan dan pengalaman bangunan narasi dan metafor yang harus lebih dominan adalah Yesus sebagai hakim yang adil, Yesus sebagai Penyembuh dan Yesus sebagai Guru Hikmat. Ketiganya menurut saya mewakili pemahaman mengenai Yang Ilahi, baik dalam agama rakyat yang bersifat “agama alam” maupun yang bersifat “agama kekerabatan” mulai dari Sumatra, Jawa sampai ke Papua, dan juga diambilalih ke dalam agama-agama tradisional seperti Hinduisme, Buddhisme dan Islam. Mereka semua secara umum memperhatikan faktor-faktor kekuatan-kekuatan gelap yang mengancam kehidupan manusia, kekuatan-kekuatan yang memulihkan kemalangan dalam kehidupan manusia dan kebijaksanaan manusia dalam menghadapi liku-liku kehidupan. Selama ini hal-hal yang menghubungkan kepercayaan warga gereja dengan kepercayaan rakyat tidak pernah diakui sebagai bagian yang autentik dari iman Kristen. Padahal dalam kenyataan justru hal-hal seperti exorcisme, penyembuhan ilahi dan Hikmat-lah yang menjadi keprihatinan warga gereja pinggiran. Itulah "grassroot - theology" mereka! Kalau begitu maka yang perlu dilakukan adalah melakukan pelayanan-pelayanan yang mencakup exorcisme, penyembuhan ilahi dan pendampingan hikmat sebagai pengakuan terhadap aspirasi-aspirasi warga gereja tersebut. Sementara itu para teolog tentu perlu mengaitkan "grassroot theology" ini dengan kajian teoretis dari khazanah teologi mereka, yang mencakup tradisi sistematis dan tradisi biblis. Menurut teologi Calvinis dan Lutheran yang menjadi teologi normatif di banyak gereja-gereja Indonesia, exorcisme tidak diakui. Demikian juga penyembuhan ilahi dan pendampingan hikmat. Teologi Reformasi melihat agama bukan sebagai soal penyembuhan melainkan soal keselamatan, atau lebih baik, keselamatan tidak dianggap sebagai berkaitan dengan penyembuhan dan pendampingan. Tetapi tradisi Pietisme lebih terbuka kepada ketiga aspek ini, demikian juga tradisi Pantekosta yang sudah disebut di atas. Tradisi Perjanjian Lama tidak mengenal exorcisme, tetapi mengenal kedua pokok yang lain. Tradisi Perjanjian Baru mengenal ketiga-tiganya. Berdasarkan pertimbangan ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun pelayanan semacam ini tidak sesuai dengan tradisi eklesiastikal yang diwarisi, dari segi Alkitabiah kita dapat memberi dasar bagi keabsahan pelayanan semacam ini.
Tentu wajar kalau timbul pertanyaan besar dari pembaca : bagaimana kalau pelayanan seperti ini gagal, artinya orang yang mendapatkan pelayanan exorcisme barangkali merasa sembuh karena setan sudah berhasil dikeluarkan dari tubuhnya, tetapi dia tetap sakit karena bukan setan yang menjadi sebab kesakitannya melainkan penyakit serius yang belum diketahui karena tidak dilakukan pemeriksaan atau diagnosa yang akurat, atau histeria saja oleh karena orangnya mengalami jalan buntu, tidak melihat jalan keluar karena situasinya sebagai orang miskin menekan dia? Bagaimana kalau sesudah pelayanan penyembuhan ilahi orang yang sudah sembuh jatuh sakit lagi karena ternyata yang menyembuhkan dia untuk sementara adalah sugesti yang diberikan oleh si pelayan? Bagaimana kalau pendampingan hikmat tidak berhasil karena nasihat tidak cocok atau sesuai dengan tantangan yang dihadapi (misalnya supaya lulus dalam ujian skripsi S-1 maka apakah seorang mahasiswa harus berendam di sungai mulai dari tengah malam sampai fajar menyingsing)? Pertanyaan-pertanyaan ini timbul dari pengalaman-pengalaman kita yang acapkali menghasilkan kekecewaan-kekecewaan. Apakah pengalaman-pengalaman mengenai "disonansi" yang terjadi dalam realitas ini tidak perlu diperhatikan oleh mereka yang melakukan pelayanan Gereja?
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat diabaikan. Namun yang menjadi masalah adalah apabila pertama, pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan berdasarkan pemutlakan gambaran dunia sains yang mengasumsikan bahwa pelayanan exorcisme, penyembuhan dan pendampingan hikmat adalah non-sense oleh karena berada di luar jalur pemikiran yang rasional. Kedua, apabila orang mengasumsikan bahwa diakonia modern dengan model pembangunan (CD-Community Development) dan/atau model pembebasan (CO- Community Organization) lebih berhasil daripada model yang diusulkan di atas. Mengenai asumsi yang pertama sudah cukup dijelaskan di dalam bagian-bagian sebelumnya. Namun mengenai asumsi yang kedua dapat dipertanyakan kembali apakah memangnya model-model CD dan CO yang dicobakan di Indonesia dan di bagian-bagian dunia ketiga yang lain telah berhasil dalam arti kata yang sebenarnya? Saya tidak menyangkal bahwa banyak perbaikan-perbaikan yang telah terjadi. Dalam peristiwa Kedungombo di tahun 80-an misalnya kita melihat bahwa rakyat tidak lagi menerima begitu saja perintah dari atas yang menyebabkan mereka tergusur dari kampung halaman mereka dan pemberian ganti rugi yang amat tidak memadai. Di Amerika Selatan karena pengaruh teologi pembebasan, pemerintahan diktatur tumbang satu persatu dan digantikan oleh pemerintahan sipil yang demokratis. Di Afrika Selatan sistem apartheid bubar dan digantikan oleh pemerintahan sipil multi-ras tanpa pertumpahan darah seperti yang dikuatirkan semula. Namun pertanyaannya tetap saja: apakah nasib orang miskin di Kedungombo, Amerika Latin dan Afrika Selatan telah berubah? Apakah struktur-struktur global yang menindas telah berhasil dirobohkan dan apakah memangnya bisa dirobohkan? Pertanyaan seperti ini tetap perlu diajukan untuk mencegah rasa optimisme palsu yang seringkali muncul dalam pelaksanaan CD dan CO.
Optimisme palsu ini disebabkan oleh karena salahpaham dalam menafsirkan makna Kerajaan Allah di dalam Perjanjian Baru, yang dipengaruhi oleh pemahaman mengenai kemajuan (progress) di dalam pandangan hidup dunia Barat. Apabila Kerajaan Allah dimengerti menurut kriteria idea progress maka memang pada akhirnya harus ada sesuatu yang dapat dikemukakan sebagai sukses atau keberhasilan. Padahal referensi mengenai Kerajaan Allah di dalam Perjanjian Baru tidak berbicara mengenai sukses atau keberhasilan, melainkan mengenai pergumulan, harapan dan perjuangan. Oleh karena itu Kerajaan Allah tidak pernah bisa diidentikkan dengan masyarakat manapun, entah masyarakat kapitalistis ataupun masyarakat sosialistis. Apabila diakonia dilaksanakan dengan memperhatikan dunia sosial-budaya Indonesia, bukan tujuan keberhasilan yang seharusnya menjadi patokan tetapi pergumulan, harapan dan perjuangan. Nah, kalau kriteria sukses dan keberhasilan tidak dipergunakan, maka tidak ada gunanya memperbandingkan model diakonia A sebagai lebih berhasil atau sukses daripada model diakonia B. Sejak tahun 70-an sudah mengalami diakonia karitatif, reformatif dan transformatif. Dari kenyataan berupa kawanan pemulung yang berteduh di balik rumah-rumahan kardus mereka sekarang sudah mentransformasikan diri, hidup dalam rumah-rumah sederhana namun representatif, memiliki fasilitas sanitasi dan bahkan berhasil memperjuangkan keberadaan mereka sebagai RT dari kelurahan setempat. Mereka semua terdaftar sebagai penduduk dan punya KTP! Tetapi apakah kita sudah bisa mengatakan bahwa diakonia yang dijalankan bagi masyarakat kita telah berhasil? Apakah keberhasilan mereka mentransformasikan diri dari tinggal di rumah-rumahan kardus ke rumah-rumah representatif dapat dijadikan ukuran keberhasilan mereka secara menyeluruh? Sulit untuk menjawab hal ini. Belum lagi kalau ditanyakan apakah pelayanan yang dilakukan selama ini terhadap mereka, menyentuh dunia sosial-budaya mereka. Tetapi model mana yang berhasil? Akhirnya yang menentukan keberhasilan adalah mereka yang mengintrodusir model tertentu dan bukan mereka yang menjadi “objek” dari pelayanan tersebut. Maksud saya dengan mengemukakan hal ini adalah sederhana saja, yaitu supaya kita tidak tergesa-gesa menghakimi suatu model dengan mengatakan itu gagal sedangkan kita berhasil, padahal ukuran untuk gagal-berhasil tidak seharusnya dipakai dalam perenungan mengenai makna Kerajaan Allah.
Ketiga dan terakhir, kalau dikemukakan bahwa warga gereja pinggiran mempunyai “grassroot - theology” yang tidak normatif, bukan maksudnya bahwa teologi itu diterima tanpa disoroti secara teoretis. Kita mengakui teologi ini namun kita tidak memutlakkan teologi ini sebagai iman. Dalam refleksi bersama kita perlu melihat lobang-lobang dalam “grassroot - theology” dan mengusulkan perbaikan-perbaikan yang bersifat korektif, tanpa keluar dari kerangka pemahaman “grassroot - theology” itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan kritis yang diajukan di atas dapat dilihat secara positif sebagai kesadaran akan lobang-lobang ini. Tentu saja kita tidak dapat mengandaikan bahwa warga pinggiran dapat begitu saja sadar akan lubang-lubang ini. Bahkan mereka yang juga bukan warga pinggiran belum tentu dapat secara bertanggungjawab memeriksa lobang-lobang ini. Maka tidak ada jalan lain daripada melihat kembali tugas sekolah-sekolah teologi, supaya bisa menjalankan peran korektif ini. Maka pelayanan Gereja yang kontekstual di Indonesia pada permulaan milenium III tidak bisa berjalan dengan baik kalau sekolah-sekolah teologi tidak memainkan peranan yang krusial sebagai “dapur” yang menggodok, atau bidan yang membidani “grassroot - theology” lebih lanjut sehingga akhirnya sebuah teologi kontekstual bisa tersaji atau terlahir. Peranan sebagai dapur dan bidan tidak menutup kemungkinan bagi sekolah teologi untuk menggabungkan diakonia karitatif, reformatif dan transformatif menurut model pembangunan dan model pembebasan, dengan model kontekstual Indonesia. Malah kalau ditinjau secara mendalam dan realistis, kiranya model-model gabungan inilah yang akhirnya akan tampil. Namun yang perlu dijaga adalah agar model-model gabungan ini tidak hanya sekadar menempelkan konteks Indonesia pada milenium III (“paying lip-service”) dan kemudian berjalan terus dengan sikap yang sudah dikritik di atas.
Bagi teman-teman anggota GMKI se-cabang Kupang di sadari atau tidak kita telah berada pada era modern atau bahkan telah sampai pada sebuah masa atau keadaan lain (post-modern) sehingga kita perlu menghadirkan kembali sosok ”Yesus Kristus” sebagai fondasi atau dasar ideologi kita atau juga sebagai model yang tepat dalam komitmen berpelayanan utuk menhadirkan syalom ALLAH di muka bumi. Akhirnya Yesus Kristus sebagai kepala gerakan akan selalu membantu kita dalam keadaan susah, menaungi kita di tengah-tengah teriknya panas, menjaga kita dari musuh-musuh kita selalu menyertai kita sekalian. Semoga wacana ini semakin memperkaya cakrawala berpikir kita di tengah dunia yang penuh tantangan. Akhirnya di bawah terang Thema ”jadilah berhikmat! Berjalanlah pada jalan kebenaran di tengah-tengah jalan keadilan” saya ucapkan ”Ut Omnes Unum Sint”
”SYALOM”