Rabu, 21 April 2010

idiologi amir syarifudin oleh:yohanes reinnamah Amir belia lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor

idiologi amir syarifudin

oleh:yohanes reinnamah

Amir belia lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas, bernama Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949), mantan jaksa di Medan. Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Sementara ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu di Deli. Zaman itu, saat Belanda membuka perkebunan besar-besaran di Deli, banyak orang Batak eksodus ke daerah ini. Maka, kalau itu ada istilah “Kampak bukan sembarang kampak. Kampak pembela kayu. Batak bukan sembarang Batak. Batak masuk Melayu”.

Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.

Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.

Pada September 1927, sekembalinya dari Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir terlibat mendirikan partai Indonesia (Partindo). Amir juga mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Berjuang untuk pembebasan dari belenggu penjajah, benih-benih perjuang itu pun makin mekar saat bertemu para tokoh pejuang seperti Mr. Muhammad Yamin, dan Amir aktif pada diskusi Politik Indonesia bersama Muhammad Husni Thamrin.

Amir juga mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Berjuang untuk pembebasan dari belenggu penjajah, benih-benih perjuang itu pun makin mekar saat bertemu para tokoh pejuang seperti Mr. Muhammad Yamin, dan Amir aktif pada diskusi Politik Indonesia bersama Muhammad Husni Thamrin.

Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, kemudian hari menjadi embrio Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Di sana, dua sepupu itu menumpang di rumah seorang guru pemeluk Kristen Calvinis bernama Dirk Smink. Kristen Calvinisme adalah aliran gereja dari spirit bapak Gereja, John Calvin (1509-1564).

Amir Syarifuddin yang dulunya berasal dari keluarga Muslim, berpindah agama menjadi Kristen. Dia tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh. Tiap hari Minggu turut berkotbah. Kotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang. Penggaliannya terhadap Injil sangat mendalam. Itu sebabnya, detik-detik terkhir hidupnya, dia menggengam Alkitab.

Perjuangan

Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.

Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.

Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.

Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.

Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.

Revolusi Amir Syarifudin

Amir, sebagaimana pemuda seangkatan lainnya, disadarkan tentang arti kata "revolusi" dan janji-janjinya. Pertama melalui apa yang dipelajari dari guru Belanda mereka tentang Revolusi Prancis, ketika masih belajar di sekolah menengah dan sekolah tinggi hukum. Memang, ia lebih banyak berkiblat kepada Revolusi Prancis, dan bukan revolusi-revolusi Amerika atau Rusia.

Bagi Amir "Prinsip Harapan" (meminjam kata-kata Ernst Bloch) untuk Indonesia pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga slogan: "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Rangkaian konsep ini didasarkan pada gagasan akademis Belanda tentang Taal-, Land- en Volkerakunde sebagai keseluruhan, dan diambil oleh para mahasiswa yang menamakan diri bangsa Indonesia di tahun 1928—yang menurutnya seperti Yacobin, sebuah kelompok yang berperan dalam revolusi Prancis. Tetapi "Prinsip Harapan" itu juga berfungsi lain. Sebagai sarana memasuki Indonesia yang baru dirumuskan, yang sepertinya sudah ada, bisa dimengerti dan diterima oleh semua. Prinsip ini juga membentuk suatu labirin yang kabur dan goyah walaupun telah diberi contoh-contoh untuk meneranginya.

Sepanjang 1928-1948, Amir telah mengabdi pada kebenaran-kebenaran politik yang diyakininya. Dan untuk itu ia pun harus menempuh masa perjuangan yang penuh pergulatan, kekerasan, pengkhianatan, persatuan, serta keberpihakan. Namun dalam percaturan masa ini Amir merupakan salah satu pilar penyangga dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas dan lugas, serta berani dalam bertindak mengisi ruang kepemimpinan yang kosong—karena kegagalan gerakan radikal sebelumnya. Moderasi melanda hampir seluruh oposisi, sehingga dirinya mampu menerobos sebagai bagian dari empat serangkai Indonesia setelah Revolusi Nasional ‘45 dikobarkan yaitu Soekarno, Hatta, Syahrir, dan terakhir dia sendiri.

Militan Anti Fasis Ditengah Ditengah Sorak Sorai Efuria Kebangkitan Asia

Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936. Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 40-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.

Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), jawatan rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.

Banyak kesan muncul tentang pribadi Amir dari kawan-kawannya, juga musuhnya. Soedjatmoko mendeskripsikan pribadi Amir sepanjang pengetahuannya tentang Amir sebagai "orang yang tinggi pengetahuannya, dengan kehangatan dan pesona pribadi yang luar biasa". Orang-orang yang pernah mengunjungi Amir di rumahnya yang sederhana di Menteng Pulo, teringat pada sambutannya yang langsung dan lugas. Kawan-kawan sekolahnya dari Gymnasium, Haarlem, juga mengenangnya sebagai seorang yang sangat senang bergaul. Membaca Hatta dan Sjahrir orang akan diberi kesan yang sama sekali berbeda. Seorang ambisius yang mentah, tidak berwatak, tidak berkeyakinan, yang gampang berganti pikiran seperti berganti baju. Seorang yang berangasan dan sewenang-wenang.

Konsistensi Nonkooperatif

Amir yang terlahir pada 27 April 1907 (pada tesis Pdt Frederiek disebut 27
Mei 1907), merupakan sosok yang secara total membaktikan hidupnya sepanjang
20 tahun (1928-1948) kepada suatu keyakinan bahwa revolusi nasional harus
menohok pada sistem imperialisme itu sendiri. Hal itu tampak saat perjuangan
melawan kolonialisme Belanda, tak ada kata kompromi dalam bentuk apa pun
bagi Amir untuk negara penjajah. Ketika Jepang yang disambut antusias
sebagai saudara tua oleh rakyat Indonesia, termasuk Bung Karno dan Hatta,
langkah Amir justru sulit diduga banyak kalangan. Amir memanfaatkan Belanda
untuk membangun gerakan bawah tanah menghancurkan fasisme Jepang.

Bila ditelusuri, dalam hal ini Amir mendasarkan pada teori mengenai analisis
terhadap krisis hubungan internasional, dan sistem politik global serta
mengenai hubungan antara negeri jajahan dan penjajah yang merupakan bagian
integral darinya. Gagasan Amir tidak mendapat sambutan dari sesama aktivis,
sebab belum pulihnya kepercayaan mereka terhadap Amir oleh polemik di tahun
1940. Hal paling utama sebenarnya ialah tidak pahamnya mereka akan strategi
Amir untuk kemerdekaan sepenuhnya.

Kecenderungan saat itu, para aktivis menjalankan strategi berkolaborasi
dengan Jepang dengan harapan Jepang memberi kemerdekaan. Sejarah membuktikan
prinsip Amir benar, sebab ternyata Jepang menjadi penjajah yang lebih kejam,
bukan sebagai saudara tua yang melindungi apalagi memerdekakan.

Nonkooperatif merupakan sikap teguh Amir, berhadap-hadapan dengan problem
pokok, itulah yang ditunjukkannya kepada semua pihak. Pada konteks terkini,
tidak banyak berpandangan demikian, meski tata kelola Indonesia yang hampir
sempurna kehancurannya, pemerintah justru masih sibuk dengan
kebijakan-kebijakan "pemadam kebakaran". Bila Amir masih hidup, dengan alat
analisisnya mungkin masih dapat menunjukkan problem pokok dan solusinya
dengan tepat terhadap sistem penjajahan baru yang merangsek dewasa ini.

Sikap nonkooperatif mengalami kebuntuan tatkala Amir berada dalam panggung
kekuasaan. Pada situasi yang bergerak cepat, sangat sulit menemukan cara
yang bisa mempertemukan antara negara dan revolusi, antara stabilitas dan
perubahan, dan antara yang lama dan yang baru. Gambaran itu dapat
disepadankan dengan pengalaman kepemimpinan Gus Dur pascareformasi yang
kesulitan melakukan perubahan.

Dalam menyusun tentara nasional, Amir terinspirasi dengan "tentara
masyarakat" pada pengalaman revolusi Prancis. Segala daya upaya dilakukan
Amir untuk memberikan gambaran tentang tentara yang jiwa politiknya
"kerakyatan", membuang paham korporatisme, patronase, dan faksionalisme.
Namun hal itu mendapat banyak kritikan, akhirnya tidak dapat berkembang
sebagai jiwa tentara Indonesia. Bersamaan dengan perjalanan waktu justru ide
"dwifungsi" yang telah meresapinya, dan mengangkatnya menjadi golongan
"supra-masyarakat". Dinamika itu pula yang menjatuhkan kepemimpinan Amir
sebagai Perdana Menteri. Namun lagi-lagi sejarah membuktikan kekalahan dan
kesendirian Amir hanya pada saat itu saja, sebab puluhan tahun setelah itu
(Reformasi 1998) gemuruh suara rakyat mengumandangkan "tolak dwifungsi",
sebagai buah dari konsistensi nonkooperatif.

Kontra Revolusi 1948

Pasca kegagalan pemberontakan 1926—yang memunculkan reaksi keras rejim kolonial Hindia Belanda (berupa penangkapan, pembuangan, dan pembunuhan terhadap ribuan kaum kiri), kaum komunis kembali coba membangun organisasi secara ilegal, yang dipimpin oleh Musso. Kesalahan dalam membaca situasi obyektif menyebabkan mereka tetap berada dibawah tanah ketika revolusi nasional pecah—dimana berbagai spektrum politik lain telah muncul secara terbuka dihadapan massa rakyat pada saat itu, dan mengambil kepemimpinan politik. Disamping itu terpecahnya konsentrasi kader-kader komunis ke berbagai organisasi yang mereka bentuk waktu itu (PKI, PBI, dan Partai Sosialis), mengakibatkan kelemahan tersendiri bagi organisasi secara keseluruhan.

Persetujuan Renville adalah puncak kesalahan reaksioner, yang membawa Indonesia pada tepi jurang kolonialisme. Tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kesalahan besar selanjutnya ialah kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis. Kaum Komunis pada waktu itu melupakan satu hal pokok yang pernah dikatakan oleh Lenin: "Soal pokok dari setiap revolusi adalah soal kekuasaan negara". Dengan bubarnya kabinet Amir Sjarifuddin, maka terbukalah jalan bagi elemen borjuasi komprador untuk memegang pimpinan pemerintahan, dan dengan demikian juga kepimpinan Revolusi Nasional. Sedangkan kaum Komunis mengisolasi dirinya dalam oposisi.

Dapat dikatakan, bahwa saat itulah revolusi nasional benar-benar berada dalam bahaya, yang makin lama makin membesar. Revolusi nasional makin lama makin jelas terperosok kedalam jurang kapitalisasi (penyerahan) kepada imperialisme Belanda cs, akibat politik kompromis yang sangat reaksioner dari elemen borjuasi Indonesia pemegang pimpinan pemerintahan. Politik kompromis ini makin menguntungkan imperialisme Belanda dan makin membesarkan bahaya bagi Indonesia.

Sesudah kaum Komunis tidak berada di pemerintahan, dan kemudian mulai giat bekerja dikalangan rakyat, mereka mulai menyadari kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang telah mereka buat. Antara lain kelemahan organisasi Partai serta organisasi massa, terutama dikalangan kaum buruh dan tani. Mereka mulai insaf, bahwa terutama harus diusahakan penyelesaian soal agraria secepatnya, karena memang sangat kurang mendapat perhatian mereka, padahal masaalah tani adalah masaalah yang penting bagi Revolusi Nasional Indonesia.

Juga mulai diinsafi, bahwa dengan tidak adanya sokongan, terutama dari rakyat pekerja (buruh, tani-pekerja, dan pekerja lainnya) yang terorganisasi rapi, tidaklah mungkin mewujudkan hegemoni klas buruh dalam revolusi nasional kita ini. Tidak mungkin pula membentuk suatu pemerintahan kerakyatan yang kuat dan berdiri tegak. Oleh karenanya mereka kemudian berusaha dengan segiat-giatnya mengorganisasikan massa rakyat pekerja, agar dalam waktu yang pendek dapat menyusun organisasi yang rapi di berbagai sektor rakyat, yang berkewajiban sebagai tulang-punggung revolusi nasional kita.

Kemudian PKI menetapkan bahwa organisasi ini, dalam susunan yang baru, harus dengan tegas membatalkan persetujuan Linggarjati dan Renville, karena dalam prakteknya telah menjadi sumber dari segala keruwetan diantara pimpinan-pimpinan dan rakyat. Dengan dibatalkannya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti Republik Indonesia merdeka sepenuhnya, dan rakyat tidak terikat lagi oleh persetujuan-persetujuan yang mengikat dan memperbudak. Hapusnya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti juga, kekuasaan Belanda di Indonesia adalah pelanggaran kedaulatan, dan oleh karena itu tentara Belanda harus segera diusir. Hapusnya persetudjuan Linggadjati dan Renville menghilangkan segala kebimbangan dikalangan beberapa partai untuk memperluas dan meneguhkan hubungan republik dengan negeri-negeri lain. Dengan demikian republik juga mendapat kesempatan untuk menerobos blokade Belanda yang mengisolasi republik dari negeri-negeri luar dalam lapangan ekonomi dan politik.

Penolakan tersebut bukan karena Belanda terbukti tidak setia dan telah menginjak-injak persetujuan. Namun lebih karena alasan prinsipil, bahwa persetujuan-persetujuan itu mewujudkan negara yang pada hakekatnya adalah negara jajahan. Sebab itulah PKI akhirnya mengeluarkan slogan: "Merdeka se-penuh-penuhnya".

Penolakan persetujuan Linggadjati dan Renville berarti juga otokritik yang keras dikalangan PKI. Dan pengakuan salah ini kemudian coba untuk disampaikan pula kepada Rakyat-banyak. Dalam tulisan “Jalan Barunya” untuk mengkritik hal tersebut, Musso dengan jelas mengatakan:

“Kita saat ini sudah seharusnya menggabungkan diri dengan gerakan-gerakan anti-imperialis di Asia, di Eropa dan di Amerika, terutama sekali dengan Rakjat negeri Belanda jang progresif, jang sebagian besar dari mereka dipimpin oleh CPN. Partai ini walaupun sudah membuat kesalahan-kesalahan, adalah satu-satunja Partai klas buruh di negeri Belanda jang sungguh-sungguh membantu gerakan kemerdekaan kita pada waktu sebelum dan sesudah peperangan dunia kedua. CPN adalah djuga mendjadi sekutu kita jang semestinja, dan perhubungan kita dengan CPN harus lebih dikokohkan lagi. Lain daripada itu PKI harus terus-menerus mendesak CPN supaja benar² meninggalkan politik jang bersembojan: "Unie-verband" jang djahat itu, dan menggantinya dengan politik "INDONESIA MERDEKA SEPENUH-PENUHNYA". Tujuan PKI ialah mendirikan Republik Indonesia berdasarkan Demokrasi Rakyat, yang meliputi seluruh daerah Indonesia dan bebas dari pengaruh imperialisme serta anjing penjaganya yaitu Negara”.

Jelas dan tegas dirumuskan dalam resolusi "Jalan Baru untuk Republik Indonesia" musuh yang utama adalah imperialisme Belanda yang harus diusir dari wilayah Indonesia dan menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia. Kaum komunis yang dituduh membikin sovyet di Madiun dan mengkhianati republik, justru menyatu dengan kekuatan rakyat yang teguh melawan Belanda.

Tapi bagi Hatta, dkk. musuhnya ialah PKI dan kekuatan progresif, bukan Imperialisme Belanda. Pembunuhan dan penyingkiran kekuatan komunis dan kekuatan progresif—melalui program rasionalisasi—telah melemahkan kekuatan republik yang memperjuangan kemerdekaan 100%, dan mengambil jalan kompromi dengan imperialis/kolonialis Belanda. Penyelesaian kompromi ini terwujud dalam hasil Konferensi Meja Bundar, dan pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai penjajahan model baru. Indonesia tidak hanya masih terikat secara politik, ekonomi, dan militer pada Belanda, tapi Belanda membuat problem kolonial yang baru: menolak untuk menyerahkan Irian Barat!

Tragedi Madiun

Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang pada saat peristiwa Madiun meletus sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) turut ditangkap beserta beberapa kawannya.

19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta

Digelari sebagai pahlawan, dan dikubur di makam yang terhormat. Pada 27 Mei 2008 lalu, untuk mengenang jasa-jasanya, STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk “Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar