Rabu, 21 April 2010

ORIENTASI KAJIAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP MENUJU AREA KONSERVASI

ORIENTASI KAJIAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP MENUJU AREA KONSERVASI

Oleh: Yohanes Reinnamah

Mengkaji kebijakan pembangunan perikanan tangkap di NTT sebenarnya merujuk pada satu tujuan yakni pembangunan berkelanjutan sesuai dengan hasil tangkap maksimum “ Catch effort”. Namum pada perkembangannya hasil tangkapan Maksimum Berimbang Lestari’, MSY yang mengandung beberapa kelemahan, beresiko tinggi terhadap keberlanjutan dan keuntungan jangka panjang dari pengelolaan perikanan tangkap. Maka, Pada tulisan ini penulis menyampaikan beberapa argumentasi untuk melihat kembali kebijakan pengelolaan perikanan tangkap dalam rangka pemulihan stok sumberdaya dan usaha perikanan tangkap di NTT, sebagai berikut: (1) pergeseran kebijakan perikanan, dari pengelolaan yang beorientasi pada perlusan usaha menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan; (2) pengelola perikanan memahami bahwa prinsip ‘sumberdaya tidak akan pernah habis, sudah tidak berlaku atau dengan kata lain, perluasan usaha penangkapan yang tanpa kontrol tidak akan menguntungkan lagi; (3) Pengelola perikanan menyadari bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkapan berlebih ke wilayah lainnya akan memberikan kontribusi terhadap kolapsnya perikanan tangkap setempat, dan (4) Pergeseran pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY menuju pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem, dimana Kawasan Perlindungan Laut akan memainkan peran cukup penting. (Widyna,2003)

Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki tanggung jawab besar dalam setiap kebijakan yang diambil dalam setiap keputusan untuk memajukan pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan sesuai dengan UU No 27 tahun 2007 (undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil). Dalam setiap kebijakannya pemerintah sebenarnya melihat kembali pada setiap data-data terbaru tentang pemanfaatan yang berbasis masyarakat sehingga dalam setiap keputusannya merujuk pada kebutuhan masyarakat, di mana masyarakat di jadikan sebagai bagian penting dalam proses berlangsungnya pembangunan yang berkelanjutan.

Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir secara terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau ataupun non-alami.

Wilayah pesisir yang rentan terhadap segala bentuk eksploitasi baik secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada ketersediaan sumberdaya alam (perikanan) yang ada di dalamnya dalam menyokong setiap kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan. Argumen ini di bangun atas dasar pikir bahwa terjadi eksplotasi sumberdaya oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menguntungkan pribadi mereka dengan orientasi proyek dan sebagainya tanpa melihat pada kesejahteraan masyarakat nanti. Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir yang rentan, berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk di jadikan area konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisir dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

1. Tujuan Utama Dijadikannya Suatu Tempat Sebagai Tempat Konservasi Konservasi

Konservasi perairan di Nusa Tenggara Timur seluas 3,5 juta hektar itu meliputi 14 kabupaten di perairan selat Sumba dan perairan sekitar kepulauan Timor, Rote dan Sawu. Menurut Direktur Program Kelautan WWF Indonesia Wawan Ridwan, Penetapan kawasan konservasi sumber daya hayati laut bukan berarti masyarakat tidak boleh sama sekali memanfaatkan berbagai hal dalam arti setiap sumberdaya yang terdapat di wilayah tersebut tetapi pada batas-batas yang di tentukan sesuai dengan kesepakatan bersama.

Suatu daerah dijadikan sebagai tempat konservasi karena daerah tersebut memiliki kekhasan sumberdaya yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain atau suatu daerah sudah mengalami pressure yang mengakibatkan hampir punahnya suatu sumberdaya di suatu wilayah. Melihat pada dinamika-dinamika yang terjadi di wilayah pesisir maka pemerintah mengeluarkan suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang tentang UU No 27 tahun 2007 dan UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi.

2. Area Konservasi

peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada Pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu. Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Tujuan penyusunan kebijakan-kebijakan yang ada adalah:

a. menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait;

b. membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta

c. memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusah

3. Rencana Kerja Pembangunan Kelautan dan Perikanan 2010

Pada tahun 2010, pembangunan kelautan dan perikanan dihadapkan pada 5 tantangan yaitu : (a) krisis finansial global, (b) kemiskinan dan pengangguran, (c) perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, serta (d) tuntutan efisiensi, efektivitas, pelayanan prima, dan (e) peningkatan pangsa pasar domestik, mutu dan keamanan hasil perikanan. Dengan demikian, fokus program dan kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2010 antara lain adalah: (a) peningkatan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya; (b) peningkatan produksi perikanan, konsumsi ikan per kapita, serta ekspor hasil perikanan; (c) peningkatan kapasitas sumber daya manusia kelautan dan perikanan; (d) pengembangan IPTEK untuk mendukung pengembangan usaha sesuai dengan potensi dan keunggulan daerah; (e) peningkatan mutu produk hasil perikanan dan pengurangan losses; (f) peningkatan pengawasan dan pengendalian SDKP; (g) penguatan legislasi dan regulasi; (h) implementasi prinsip pengelolaan wilayah pesisir terpadu.

4. Penyusunan program dan kegiatan kelautan dan perikanan tahun 2010 di NTT harus mengedepankan kebutuhan nyata serta kegiatan prioritas yang menjadi unggulan daerah. Penyusunan program tersebut juga didasarkan atas pertimbangan kemampuan dasar seperti sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM), baik masyarakat maupun aparatur. Dengan demikian, diharapkan dapat mendorong pengembangan industri kelautan dan perikanan yang menyerap banyak tenaga kerja, memacu pertumbuhan ekonomi daerah, mendorong daya saing kelautan dan perikanan, serta meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut di atas, upaya yang harus dilakukan adalah: (a) memperkuat daya saing perekonomian sektor kelautan dan perikanan; (b) mengembangkan program dan kegiatan yang dapat menyerap tenaga kerja, seperti pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat, (c) menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (d) mengembangkan kapasitas SDM KP dan IPTEK untuk optimalisasi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, serta (d) meningkatkan kualitas manajemen dan sistem informasi.

5. Perencanaan program yang akan dituangkan dalam dokumen perencanaan tahun 2010 harus didukung oleh data akurat, norma, standard, kriteria, prosedur yang dapat dipahami, diukur dan diimplementasikan serta selalu mengedepankan azas manfaat. Kegiatan pemberdayaan masyarakat didahului oleh kajian teknis menyangkut sosial ekonomi dan budaya, sedangkan pengelolaan perairan umum melalui rencana strategis (renstra) pengelolaan daklam kurun waktu tertentu. Perencanaan yang menyangkut pembangunan fisik harus didahului studi kelayakan termasuk dampaknya terhadap lingkungan serta pembuatan Detail Disain (DD).

6. sfvvvvb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar