Rabu, 28 April 2010

mangrove di NTT oleh yohanes reinnamah

MAKALAH ILMIAH
OLEH: YOHANES REINNAMAH
Tingkat kerusakan hutan mangrove di Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin serius dan hingga Desember 2009 mencapai 9.989 hektare (ha) dari total 40.695 hektare.
"Dari 40.695 ha luas hutan mangrove di NTT ini sudah banyak yang mengalami tekanan yang cukup besar, di antaranya akibat penebangan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar," kata Kepala Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur (NTT) Joseph Diaz di Kupang, Jumat.
Menurut Diaz, hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan, Univesitas Nusa Cendana (Undana) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 1995 menyebutkan potensi mangrove di Nusa Tenggara Timur cukup besar dapat ditemukan di perairan NTT.
Pada wilayah ini, kata Diaz, ekosistem ini pada beberapa lokasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya.
Hutan mangrove di NTT tidak sebanyak di pulau-pulau besar di Indonesia, karena kondisi alam di NTT yang membatasi pertumbuhan mangrove, seperti kurangnya muara sungai yang besar di NTT sehingga pertumbuhan mangrove yang ada sangat tipis.
"Di beberapa lokasi mangrove dapat tumbuh dengan baik karena didukung oleh muara sungai besar dengan sedimentasi yang cukup tinggi seperti di muara sungai Benenain di Kabupaten Belu dan muara sungai Noelmina di kabupaten Kupang," katanya.
Mantan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) NTT ini, lebih lanjut mengatakan, hasil survei Dinas Kehutanan, Universitas Cendana dan Institut Pertanian Baogor (IPB) pada tahun 1995 juga berhasil mengidentifikasi 11 spesies mangrove di Pulau Timor, Rote, Sabu dan Semau.
"Hasil survei itu juga menemukan hutan mangrove di NTT, terdapat kurang lebih sembilan famili yang terbagi dalam 15 spesies bakau Genjah (Rizophora mucronata), bakau Kecil (Rizophora apiculata),bakau Tancang (Bruguera), bakau Api-api (Avecinnia), bakau Jambok (Xylocorpus), bakau Bintaro (Cerbera mangkas), bakau Wande(Hibiscus tiliacues)," katanya.
Namun kata Diaz, keberadaan spesies ini sebagai salah satu sumberdaya pesisir dan laut NTT, terdegradasi yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) dalam mendukung pembangunan daerah.
Di NTT, katanya, degradasi sumberdaya pesisir dan laut ini disebabkan tidak saja oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam seperti perubahan suhu dan salinitas air laut, perubahan iklim dan ombak keras.
Namun dari data yang diperoleh bahwa kerusakan yang lebih banyak dan lebih parah diakibatkan oleh pengaruh antropogenic (aktivitas manusia), antara lain tumpahan minyak dan buangan sampah, tangkapan ikan berlebih (overfishing), penambangan terumbu karang, konservasi mangrove menjadi tambak, pemboman ikan menggunakan potasium dan sianida.
"Perilaku ini segera dihentikan untuk menjamin kelestarian mangrove bagi anak cucu pada masa yang akan datang," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar