Rabu, 21 April 2010

Kemandulan Idealisme dan pergeseran nilai kebudayaan bangsa oleh mahasiswa sendiri Oleh: Yohanes Reinnamah

Kemandulan Idealisme dan pergeseran nilai kebudayaan bangsa oleh mahasiswa sendiri

Oleh: Yohanes Reinnamah

Dalam hidup manusia pasti cenderung memiliki keteraturan. Hal ini terbentuk dari setiap tindakan yang dilakukan secara berulang dan melalui proses interaksi dengan manusia lain, sehingga membentuk tata nilai sebagai hasil kesepakatan bersama yang pada akhirnya menjadi pedoman dalam berinteraksi, demi menjaga kebebasan individu agar tidak mengganggu kebebasan individu yang lain. Dari hasil proses inilah kemudian muncul sesuatu yang ideal dalam hidup, dimana jika seseorang memenuhi segala hasil tersebut sebagai pedoman dalam menjalani hidupnya akan tercipta keteraturan sosial. Istilah yang dianggap mewakili dalam konteks keilmuan adalah apa yang disebut dengan idealisme.

Idealisme akan selalu mengikuti ilmu pengetahuan dan segala aturan yang menjadi pedoman dalm hidup bermasyarakat, karena merupakan bentuk implementasi dari ketaatan dan kepatuhan manusia dalam mengikuti dan ataupun menerapkan ilmu serta aturan. Keberadaan paham ini bukanlah hal yang sulit diwujudkan, karena dalam memahaminya bukan merupakan ide, tetapi lebih kepada sifat dari penganutnya yang senantiasa berbuat sesuatu yang ideal, dalam hal ini berarti sesuai dengan kondisi seharusnya yang telah dianggap benar oleh orang kebanyakan secara fakta dan secara teori bahkan telah dituangkan dalam aturan yang wajib ditaati.

Pelaku dalam dunia pendidikan sering mendapat gelar insan paling idealis. Hal ini dilatarbelakangi oleh pendidikan sebagai institusi yang menjadi tempat mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai sosial, maka sudah selayaknya apa yang diperoleh menjadi bekal dalam menjalani kehidupan sosial.

Pergeseran Nilai

Tidak hanya dalam sinetron, kehidupan ini juga banyak menyajikan peran antagonis. Seseorang yang mengutamakan kepentingannya pribadi dan menghalaakan segala cara untuk memperkaya diri, tentu menganggap idealisme sebagai musuh dalam usahanya mencapai apa yang menjadi keinginannya. Kondisi inilah yang pada akhirnya menempatkan istilah anti kemapanan melekat pada sosok idealis, karena memaksanya bertahan ditengah orang lain yang memilih mengikuti hegemoni si antagonis dengan dalih mengikuti perkembangan zaman. Alienasi dalam pergaulan terjadi, hingga menjurus pada pemisahan kelompok masyarakat atas orang yang dinilai idealis.

Seorang mahasiswa yang berdemo menuntut pendidikan murah yang seharusnya menjadi haknya, mugkin saat ini akan mendapat cibiran dari kawan-kawannya sesama mahasiswa, dengan anggapan tugas mahasiswa itu hanya belajar dan keputusan kuliah tentunya akan diambil oleh yang benar-benar mampu, termasuk dalam hal biaya. Demikianlah kehidupan yang berhasil diciptakan sebagai fatamorgana dari modernitas oleh kaum antagonis, dengan transaksional sebagai nalarnya. Benturan juga dihadapkan saat kelak mereka telah di dunia kerja, orang yang memiliki prinsip taat kepada aturan demi kemashlahatan bersama, akan dicemooh oleh rekan kerjanya yang melakukan korupsi kecil-kecilan. Dalih yang dipakai adalah, “tentu kamu menginginkan kelebihan harta demi kesejahteraan anak istrimu”.

Kerasnya fatamorgana kehidupan yang berhasil diciptakan telah membuat idealisme menjadi mandul, karena akan membuat orang memilih ikut arus sehingga mandapat kesejahteraan semu yang mungkin tidak bertahan lama ataukan mempetahankan idealisme yang berarati akan jauh dari kesejahteraan saat ini. Sebagai pertimbangan dalam memutuskannnya adalah dengan melihat jangka panjang dari akibat yang mungkin ditimbulkan. Orang yang selalu ikut arus dan tidak berprinsip akan mudah menjadi budak, dan menjadi obyek eksploitasi. Sementara yang berprinsip akan tangguh menghadapi perubahan dan akan tampil sebagai pemimpin yang mampu mengendalikan perubahan.

THE BUTTERFLY EFFECT

Satu kepakan sayap kupu-kupu, apa yang terjadi dengannya. Kecil sayapnya memang, namun jika kita mencoba menelaah dampak yang diakibatkan, maka akan kita dapati udara disekitarnya tergerak dan mengalami perpindahan tempat, yang orang biasa menyebutnya dengan angin. Demikianlah hewan kecil. Jika seorang manusia bergerak,bayangkan berapa kekuatan angin yang ditimbulkannya!!!

Masturbasi Intelektualitas Mahasiswa

Mahasiswa sekarang tak lebih hanya menjadi sekrup-sekrup yang memperkuat mesin kebejatan moral masyarakat. Segala kehidupan yang serba positivis dengan memandang segala sesuatu apa adanya dan menyerap nilai-nilai kebebasan adalah salah satu yang menjadi bahan baku sekrup tadi, tanpa ada lagi penajaman peran intelektualitas yang menurut Jalaluddin Rakhmad adalah mampu membangun kesadaran terhadap kondisi sosial, menemukan formula dalam menyikapi kondisi tersebut, serta menuangkannya dalam bahasa dan tindakan yang dapat dimengerti dan diterima masyarakat.

Aktivis muslim, hanya menjadi jargon semata. Kebaikan dan kejahatan hanya diukur sebatas surga dan neraka, serta sabar dianggap sebagai terapi terhadap rongrongan penindasan yang tak mampu dia pikirkan solusinya. Ibadahnya adalah masturbasi yang mampu menyenangkan dirinya sendiri sebagai bukti kelemahan diri.

Tiada lain yang ,mesti kita lakukan saat ini selain kembali menyelami dunia epistemologis kita, sehingga kita dapat menemukan jalan sebenarnya dari hakikat diciptakannya segala sesuatu. Tempalah diri kita agar dapat memaksimalkan kekuatan kemanusiaan kita, bukan menjadikannya sebagai pengakuan terhadap keterpurukan diri kita dengan pembatasan melalui penciptaan sifat yang kontradiktif dan merangkumnya dalam sosok Tuhan.

Menanamkan Islam secara kaffah di Indonesia

A. Dekonstruksi Islam

Akhir-akhir ini di Indonesia kita ini sangat marak golongan yang sering menyuarakan islam sebagai solusi atas segala permasalahan yang membelit kehidupan manusia. Cara-cara yang dilakukan untuk menyebarkan pemikiran mereka-pun cukup beragam. Mulai dari jalan damai dengan cara mendatangi setiap kerumunan orang dan berdakwah, hingga cara-cara kekerasan, seperti: sweeping tempat-tempat maksiat, bom bunuh diri yang dihadiahkan kepada orang-orang kafir dari sudut pandang mereka.

Jika diamati dari perspektif realitas kehidupan yang saat ini dialami bangsa Indonesia, cara-cara di atas bisa jadi kurang efektif dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Kita lihat kenyataan yang terjadi antara lain : tingginya angka pengangguran, kemiskinan, dan rendahnya perhatian pemerintah terhadap kepentingan publik, dapat dijadikan alasan untuk mengeluarkan statement,"Buru-buru mau memikirkan dan menerapkan syari’at islam untuk solusi masalah, besok bisa makan apa tidak aja, belum ketemu solusinya". Di sisi lain dengan semakin banyaknya cara-cara radikal yang diterapkan semakin mengurangi kesan simpati terhadap islam. Islam seakan mengalami penurunan nilai, dalam hal ini tradisi revolusioner untuk melakukan rekonstruksi sosial dan moral untuk melakukan revolusi total yang mengubah seluruh dimensi kehidupan manusia sebagai ciri khas islam yang dibawa Rasulullah telah hilang.

Keadaan tersebut nampaknya dapat dibaca oleh para penyerang islam. Melalui serangan pemikiran mereka yang dikenal dengan ghazul fikri, perlahan-lahan melakukan dekonstruksi terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia melalui food, fashion, and fun. Hal ini berdampak besar terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang sebagian besar memilki kesamaan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Barat terutama, telah berhasil masuk dengan cara-cara yang cukup manis dan tersembunyi untuk memasukkan paham mereka menggantikan nilai-nilai seperti keramahan yang tulus dan gotong royong, digantikan dengan keramahan kapitalistik karena mengharap imbalan. Media telah juga dikuasai untuk menyebarluaskan serta menanamkan perilaku bermoral rendah yang bertentangan dengan islam, dikemas menjadi sebuah tayangan yang layak untuk dikonsumsi dan dijadikan trend.

B. Usaha Efektif

Yang Pernah Dilakukan Untuk Menanamkan Nilai-nilai Islam di Indonesia Dalam kaitan ini, nampaknya kita perlu berkaca terhadap proses yang dilakukan walisongo dalam menyebarkan islam di tanah jawa untuk melakukan perlawanan terhadap serangan barat terhadap pemikiran bangsa Indonesia dan menanamkan nilai-nilai islam sebagai solusi. Menurutnya AH Johns, Islam tersebar di nusantara berkat jasa para pengembara sufi yang berhasil mengislamkan penduduk nusantara dalam jumlah besar pada abad 12 dan 13 M. Hal ini dikarenakan kemampuan para sufi dalam menyajikan Islam secara atraktif, terutama yang berkaitan dengan kesesuaian Islam dengan tradisi lokal. Sinkretisme Islam di sini adalah bercampurnya ajaran Islam dengan nilai-nilai setempat yang telah dimiliki masyarakat nusantara sebelum datangnya Islam. Sinkretisme Islam dengan tradisi lokal tersebut terutama terjadi dalam proses penyebaran Islam di Jawa oleh para sufi yang dikenal dengan Walisongo. Dalam menanamkan doktrin-doktrin tauhid Islam, mereka terkenal sangat toleran terhadap praktek-praktek "keberagamaan lokal" yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat. Toleransi mereka terhadap tradisi lokal, terutama mistisisme lama yang berasal dari Hindu-Budha membawa dampak islam menjadi mudah untuk diterima oleh penduduk lokal karena dianggap sama dengan tradisi yang mereka lakukan selama ini.

C. Revolusi Kebudayaan dan Penyucian Jiwa

Dalam konteks kekinian cara-cara tersebut bukan menjadi hal yang mustahil untuk dilakukan, kembali dalam menerapkan islam di Indonesia, tetapi tentunya harus melihat kondisi sosiologis masyarakat kini. Namun usaha yang saat ini memungkinkan untuk dilakukan adalah melalui beberapa tahapan, yaitu:

1. Revolusi kebudayaan

Bangsa Indonesia ibarat kacang lupa akan kulitnya. Pergeseran budaya mulai terjadi sebagai akibat rekonstruksi dari serangan pemikiran barat terhadap kebudayaan barat terhadap kebudayaan lokal. Nampaknya hal ini juga terjadi akibat perkembangan masyarakat manusia dari semula masyarakat primitive menjadi masyarakat modern yang mengalami perbedaan pada struktur sosialnya sebagaima pendapat Emile Durkheim. Bangsa Indonesia akhirnya juga mengalami masalah dengan apa yang disebut Emile Durkheim sebagai kesadaran kolektif, yaitu mewujudkan pemahaman tentang nilai dan norma.

Sisi gelap lainnya adalah bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam juga turut mengalami degradasi nilai-nilai islam itu sendiri dan perlahan memisahkan agama dengan urusan dunia. Akibatnya selain kehilangan kemampuan menerapkan kearifan lokal, bangsa Indonesia juga telah banyak melakukan penyimpangan dalam hidupnya akibat sekularisasi ini. Nilai-nilai islam yang mendekati nilai-nilai kearifan lokal Indonesia seperti kejujuran, gotong royong, dan kekeluargaan perlahan mulai tercerabut dari akarnya seiring memudarnya kebudayaan Indonesia itu sendiri akibat dikaburkan oleh budaya barat yang setiap hari dijejalkan oleh media.

Melihat kondisi di atas yang semakin parah setiap harinya maka langkah yang secepatnya kita lakukan sebagai bentuk antisipasi adalah dengan revolusi kebudayaan. Usaha yang merujuk kepada penyadaran dan resosialisasi kembali budaya serta kearifan lokal Indonesia melalui peran media sebagaimana yang tergambar dalam film Revolution will bo not televised, serangan media harus kita lawan dengan media juga. Karena media memiliki peran penting untuk propaganda Disinilah peran para pejuang islam untuk masuk dengan berkaca pada proses yang dilakukan walisongo pada masa lampau dalam menyi’arkan islam.

2. Penyucian Jiwa

Setelah bangsa Indonesia kembali ke budaya aslinya, maka perlahan yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman dan penerapan dengan melakukan sinkronisasi terhadap nilai-nilai islam, serta perlahan-lahan mulai melakukan pengurangan hingga pengikisan nilai-nilai budaya yang mengandung kemudyrikan serta bertentangan dengan ajaran islam.

D. Memposisikan Islam sebagai Pembawa Semangat Perlawanan Kelas

Iklan sms do’a menjadikan keuntungan tersendiri bagi pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan potensi penduduk yang mayoritas muslim. Demikian juga banyaknya majelis dzikir yang jamaahnya berpakaian serba putih, sehingga para buruh dan tukang becak yang hanya memiliki beberapa potong baju dan satupun tidak ada yang berwarna putih menjadi sulit untuk bergabung dengan majelis tersebut. Belum lagi anggapan miring bahwa para da’i dianggap sebagai agen kapitalis, karena ditengah penghisapan dan penindasan terhadap masyarakat mereka hanya bisa menyuarakan agar bersabar.

Jika kita berkaca kepada revolusi Iran. Yang terjadi di Iran memang membuktikan betapa asumsi-asumsi ilmu sosial telah keliru, ternyata modernisasi tidak harus otomatis membawa sekularisasi. Revolusi Islam 1979 tetap merupakan suatu paradox, karena selain revolusi itu menghancurkan tori konvensional tentang sekularisasi, sekaligus menunjukkan bahwa revolusi yang berdimensi sosial, ekonomi, dan politik itu dapat digerakkanoleh ideology yang sangat religious. Terbukti bahwa Islam, jika ditafsirkan sebagai ideology, dapat memiliki watak progresif revolusioner.

Reinterpretasi Islam juga dilakukan oleh Ali Syari’ati, dengan mendorong Islam sebagai ideolgi untuk mendorong trnsformasi sosial dan politik radikal. Islam memiliki nilai-nilai universalitas yang dapat berlaku di belahan bumi manapun, sehingga apa yang terjadi di Iran bukan hal mustahil yang dapat terjadi juga di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar