Rabu, 21 April 2010

ANALISIS KRITIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB & ALTERNATIF SOLUSI PENANGGULANGANNYA

Oleh: yohanes reinnamah

PENDAHULUAN

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan Provinsi yang termasuk kategori paling miskin di Indonesia. Penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur diperkirakan saat ini berjumlah 4,446,433 jiwa (BPS NTT, 2007). Selama periode 1996-1999, jumlah penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami kenaikan yaitu 1.395.100 jiwa pada tahun 1996 menjadi 1.779.000 jiwa (46,73%) pada tahun 1999. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik pada Tahun 2003, jumlah penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Tahun 2003 turun menjadi 1.165.900 jiwa dan pada Tahun 2004 turun lagi menjadi 1.152.100 jiwa.

Berdasaran data Komisi Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2008, dari 905.058 Rumah Tangga di Nusa Tenggara Timur terdapat Rumah Tangga Rentan sebanyak 187.899 (20,76%); Rumah Tangga Miskin sebanyak 297.983 (32,92%) dan Rumah Tangga Sangat Miskin sebanyak 137.224 (15,16%). Dengan terjadinya kenaikan harga BBM dan harga-harga bahan kebutuhan pokok lainnya menyebabkan rumah tangga rentan di Nusa Tenggara Timur berpotensi untuk jatuh ke dalam kondisi rumah tangga miskin sedangkan rumah tangga miskin akan terperosok masuk ke dalam kondisi rumah tangga sangat miskin.

Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain : sumber daya alam yang terbatas dan kondisi geografis yang rawan bencana; kualitas sumber daya manusia yang relatif terbatas serta kesenjangan alokasi pembangunan antar Daerah di Indonesia. Krisis multi dimensional dan berbagai kebijakan Pemerintah yang kurang pro rakyat miskin menyebabkan Nusa Tenggara Timur semakin sulit untuk menggeliat dari kemiskinan yang membelenggunya.

Apabila dipandang dari berbagai aspek secara komprehensif, sesungguhnya Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai peluang besar untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Posisi geografis Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan 2 (dua) negara asing dan merupakan pintu gerbang internasional untuk wilayah Timur Indonesia mempunyai aspek politik dan ekonomi yang sangat besar nilai jualnya. Selain itu sumber daya alam laut yang belum dieksplorasi dan belum dikelola dengan baik sesungguhya mempunyai potensi untuk menunjang perekonomian Nusa Tenggara Timur. Sehubungan dengan hal tersebut, penyusun mencoba mengkritisi berbagai faktor penyebab kemiskinan di Nusa Tenggara Timur dan potensi-potensi yang dapat dikembangkan untuk menanggulanginya.

Penyusun mencoba membuat praduga awal mengenai faktor-faktor penyebab lambatnya upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan Kesejahteraan Sosial Masyarakat serta faktor-faktor penyebab kegagalan berbagai program Pemerintah di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai berikut :

1. Kondisi yang kurang menguntungkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebabkan rendahnya minat investor untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam bawah tanah. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).

2. Masih terbatasnya sumber daya alam yang bisa digali dan dimanfaatkan antara lain menjadi salah satu penyebab kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

3. Bantuan yang dialokasikan oleh Pemerintah untuk upaya pemberdayaan masyarakat belum sesuai dengan kondisi geografis dan musim (cuaca) di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

4. Monitoring dan Evaluasi yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah (Pusat dan Daerah) sifatnya sangat parsial dan hanya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi ridak dilakukan analisa terhadap berbagai faktor pendukung keberhasilan ataupun faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dalam pengelolaan bantuan.

5. Pola hidup dan kebudayaan Masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang cenderung masih sangat konsumtif.

6. Kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah dalam mengelola sumber daya alam maupun bantuan yang tersedia. Hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan sebagian besar Masyarakat untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi.

7. Rendahnya tanggung jawab sosial Instansi Pemerintah dalam membimbing Masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan bantuan yang disediakan.

8. Rendahnya tanggung jawab sosial terhadap kehidupannya sendiri maupun terhadap bantuan yang disediakan oleh Pemerintah.

STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BAPPENAS, 2004

1. Definisi Kemiskinan

Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dar perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.

Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan dan tidak terpenuhinya hak. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar. Kemiskinan juga ditandai oleh adanya masalah ketimpangan antarwilayah. Kemiskinan di kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda. Lebih dari 70% penduduk miskin berada di Jawa dan Bali karena lebih dari 60% penduduk Indonesia tinggal di kawasan ini. Namun, persentase penduduk miskin di luar Jawa dan Bali khususnya di kawasan timur Indonesia jauh lebih tinggi.

2. Permasalahan kemiskinan

Permasalahan kemiskinan ditinjau dari beberapa aspek penyebab dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar

1) Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan

Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin. Terbatasnya kecukupan dan kelayakan pangan berkaitan dengan rendahnya gizi baik nutrisi maupun kalori, dan terbatasnya diversifikasi pangan dengan pola komsumsi yang cenderung mengandalkan beras. Pada umumnya kesulitan pemenuhan pangan ini disebabkan oleh rendahnya daya beli, tata niaga yang tidak efisien, dan kesulitan stok pangan di beberapa daerah yang terjadi pada musim tertentu. Masalah kecukupan pangan bukan hanya terkait dengan produksi bahan pangan, tetapi juga masalah peningkatan pendapatan karena mayoritas petani miskin harus membeli bahan makanan mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyediakan stok pangan yang cukup di tingkat nasional, namun masalah keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pangan belum terpecahkan sepenuhnya.

2) Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Kesehatan

Kesehatan merupakan modal masyarakat miskin untuk bekerja dan mencari nafkah, tetapi akses mereka terhadap layanan kesehatan masih sangat terbatas. Selain kecukupan pangan, masalah utama yang menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi.

Rendahnya tingkat kesehatan miskin juga disebbakan oleh perilaku hidup mereka yang tidak sehat. Jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh dan biaya yang mahal merupakan faktor penyebab utama rendahnya aksesibilitas masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan yang bermutu. Masalah lainnya dalah rendahnya mutu layanan kesehatan dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan. Kecenderungan penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata dan terpusat di daerah perkotaan juga menyebabkan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu.

Mahalnya biaya pengobatan merupakan salah satu keluhan utama masyarakat miskin. Bertambahnya jumlah penduduk miskin yang diakibatkan oleh pengeluaran kesehatan menunjukkan peningkatan dari 1,8 juta orang pada tahun 1999 menjadi 2,3 juta orang pada tahun 2001. Di samping itu jangkauan, jaminan kesehatan yang ada masih sangat rendah.

3) Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan

Masalah yang dihadapi masyarakat miskin untuk menempuh pendidikan sampai ke pada jenjang yang optimal adalah terbatasnya akses layanan pendidikan dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses layanan pendidikan dasar terutama disebabkan terbatasnya jangkauan fasilitas pendidikan, tingginya beban biaya pendidikan, terbatasnya prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar, dan terbatasnya jumlah SLTP di daerah perdesaan, daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan.

Dari sisi ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan, meskipun jumlah gedung SD/MI meningkat tetapi sebagian rusak parah, dan sebagian lagi rusak tapi masih bisa digunakan. Persoalan mengenai terbatasnya peralatan penunjang kegiatan belajar, jumlah guru yang kurang, rendahnya kemampuan guru yang dikemukakan oleh masyarakat miskin, terutama di kalangan nelayan, petani lahan kering, dan buruh tani pada akhirnya berdampak pada rendahnya mutu pendidikan yang diperoleh anak-anak keluarga miskin.

Ditinjau dari jumlah dan persebaran SLTP/MTs, masih terjadi ketimpangan terutama di daerah perdesaan. Hal ini mengakibatkan rendahnya APK dan APM untuk jenjang SLTP/MTs di perdesaan. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan alternatif bagi masyarakat, termasuk masyarakat miskin, baik yang putus sekolah, tidak sekolah, buta huruf, dan orang dewasa yang menganggur. Pengalaman menunjukkan bahwa Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP yang diselenggarakan melalui pendidikan nonformal hampir 100% diikuti oleh warga belajar dari keluarga miskin. Begitu juga program keaksaraan fungsional, beasiswa anak keluarga miskin dan program kejar usaha sangat diperlukan oleh keluarga miskin.

4) Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Pengembangan Usaha

Masyarakat miskin hanya memiliki sedikit pilihan atas pekerjaan yang layak dan peluang yang terbatas untuk mengembangkan usaha mereka. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang seimbang dan kurang kepastian akan keberlanjutannya. Usaha yang dilakukan masyarakat miskin juga sulit berkembang karena menghadapi persaingan yang tidak seimbang, keterbatasan modal, serta kurangnya ketrampilan dan pendidikan. Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya kesempatan kerja, terbatasnya peluang pengembangan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga.

Keterpaksaan untuk mendapatkan pekerjaan apa saja yang tersedia menyebabkan lemahnya daya tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus mau menerima pekerjaan dengan imbalan yang terlalu rendah dengan rentan terhadap pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pemberi kerja. Kesulitan ekonomi juga memaksa anak dan perempuan untuk bekerja. Pekerja perempuan, khususnya buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga, serta pekerja anak menghadapi resiko yang sangat tinggi untuk dieksplotasi secara berlebihan, tidak menerima gaji atau digaji sangat murah, dan diperlakukan secara tidak manusiawi.

5) Terbatasnya Akses Layanan Perumahan dan Sanitasi

Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau oleh masyarakat miskin. Kondisi perumahan merupakan ciri utama yang paling sering dipakai dalam mengenali penduduk miskin. Secara umum, masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak, rendahnya mutu lingkungan permukiman dan lemahnya perlindungan atas pemilikan perumahan.

Masalah perumahan yang dihadapi oleh masyarakat miskin di perkotaan berbeda dengan masyarakat miskin yang berada di perdesaan. Di perkotaan, keluarga miskin sebagian besar tinggal di perkampungan yang berada di balik gedung-gedung pertokoan dan perkantoran, dalam petak-petak kecil, saling berhimpit, tidak sehat dan seringkali dalam satu rumah ditinggali lebih dari satu keluarga. Keluarga miskin di perkotaan juga sering dijumpai tinggal di pinggiran rel, di bawah jembatan tol dan di atas tanah yang diterlantarkan. Mereka sering tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) dan dianggap sebagai penyandang masalah sosial yang setiap saat bisa digusur dan dipindahkan karena menempati tanah yang bermasalah.

Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering juga mengeluhkan kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Kesulitan perumahan dan permukiman masyarakat miskin di daerah perdesaan umumnya disiasati dengan menumpang pada anggota keluarga lainnya. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.

6) Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih

Masyarakat miskin sering menghadapi kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Kesulitan tersebut terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap air bersih, terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Keterbatasan akses terhadap air bersih akan berakibat pada penurunan mutu kesehatan dan penyebaran berbagai penyakit lain seperti diare. Akses terhadap air bersih masih menjadi persoalan di banyak tempat dengan kecenderungan akses rumahtangga di Jawa – Bali lebih baik dibanding daerah lain.

Kesulitan memperoleh air minum menyebabkan kaum perempuan harus berjalan jauh mencari sumber-sumber air. Masyarakat miskin di perkotaan terutama yang tinggal di pinggiran sungai mengalami kesulitan memperoleh air bersih sehingga harus membeli air minum dengan harga yang lebih mahal dari harga yang dibayar oleh kelompok kaya. Masyarakat miskin juga mengalami masalah dalam mengakses sumber-sumber air yang diperlukan untuk usaha tani dan menurunnya mutu air akibat pencemaran

7) Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah

Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Masalah tersebut sangat dirasakan oleh petani penggarap yang sering tidak mampu memenuhi kebutuhan subsisten. Masalah pertanahan juga nampak dari semakin banyak dan meluasnya sengketa agraria. Sengketa agraria di beberapa daerah terutama di Jawa dan Sumatera sering dilatarbelakangi oleh konflik agraria yang terjadi pada masa kolonial dan hingga kini tidak terselesaikan berdasarkan nilai dan rasa keadilan masyarakat. Konflik semacam itu terus menguat sebagai sengketa pertanahan yang terjadi di atas lahan perkebunan dan kawasan hutan. Konflik agraria juga terjadi sebagai dampak dari kebijakan pertanahan masa lalu yang ekspansif dalam luasan lahan dan modal untuk memfasilitasi kebijakan pembangunan. Kebijakan itu menunjuk pada pemihakan pada pemilik lahan luas hingga akhirnya memperkuat ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dan mempengaruhi kondisi kemiskinan di perdesaan dan masyarakat petani penggarap.

Kehidupan rumahtangga petani sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah dan kemampuan memobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Tingkat pendapatan rumahtangga petani ditentukan oleh luas tanah pertanian yang secara nyata dikuasai. Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah petani gurem dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di perdesaan.

Masalah ketimpangan gender juga terlihat dalam penguasaan tanah. Secara umum, penguasaan tanah lebih sering dipegang oleh laki-laki dibanding perempuan. Dalam berbagai kasus pembuatan sertfikat tanah yang dibeli setelah pernikahan, sertifikat umumnya dibuat atas nama suami sebagai kepala rumahtangga dengan kesepakatan bersama. Tanpa menguasai sertifikat tanah, perempuan akan sulit menggunakan tanah sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit usaha. Hal ini berdampak pada terbatasnya peluang bagi perempuan dalam pengembangan usaha.

Memburuknya Kondisi Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam

Kemiskinan mempunyai kaitan erat dengan masalah sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam dan perubahan lingkungan. Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya alam dan menurunnya mutu lingkungan hidup, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penunjang kehidupan sehari-hari. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan. Sedangkan masyarakat miskin di perkotaan umumnya tinggal di lingkungan permukiman yang buruk dan tidak sehat.

Masyarakat miskin yang tinggal di daerah pesisir sebagai nelayan merasakan adanya penurunan tangkapan yang sangat drastis. Hal ini disebabkan oleh masuknya perahu trawl milik pemodal besar dan pencurian ikan oleh nelayan negara asing yang menggunakan perahu lebih modern. Masyarakat miskin yang tinggal di sekitar daerah pertambangan tidak dapat merasakan manfaat secara maksimal. Mereka hanya menjadi buruh pertambangan tanpa ada hak atas kepemilikan terhadap areal pertambangan yang dikuasai oleh para pemilik modal atas ijin dari negara.

9) Lemahnya Jaminan Rasa Aman

Konflik yang terjadi di berbagai daerah seperti di Aceh, Poso, dan Ambon berdampak langsung pada merosotnya taraf hidup masyarakat miskin dan munculnya masyarakat miskin baru. Lemahnya jaminan rasa aman dalam lima tahun terakhir juga terjadi dalam bentuk ancaman non kekerasan antara lain, kerusakan lingkungan, perdagangan perempuan dan anak (trafficking), krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular, dan peredaran obat-obat terlarang yang menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Situasi keamanan yang memburuk ini menimbulkan dampak pada kondisi kemiskinan. Rata-rata penghasilan rumah tangga di Aceh dan Poso mengalami penurunan drastis masing-masing 50% dan 34%. Setelah konflik jumlah penduduk miskin meningkat, keluarga kehilangan anggota rumah tangga dan harta benda. Selain itu, aliran pengungsi dari daerah konflik ke daerah yang lebih aman menimbulkan masalah sosial-ekonomi di daerah penampungan. Permasalahan kemanan lain yang terjadi adalah aksi terorisme, seperti aksi teror bom di beberapa kota di Indonesia. Aksi teror tersebut mempunyai dampak yang signifikan pada rasa aman masyarakat, iklim investasi, dan pariwisata.

Konflik telah menyebabkan hilang atau rusaknya tempat tinggal, terhentinya kerja dan usaha sehingga penghasilan keluarga hilang, menurunnya status kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas, rusaknya infrastuktur ekonomi yang menyebabkan langkanya ketersediaan bahan pangan, menurunnya akses terhadap pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih, rusaknya infrastruktur sosial dan hilangnya rasa aman, serta merebaknya rasa amarah, putus asa dan trauma kolektif.

10) Lemahnya Partisipasi

Tidak terpenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin menyentuh langsung persoalan kapabilitas dasar yang kemudian menghambat mereka untuk mencapai harkat martabat sebagai warganegara. Gagalnya kapabilitas dasar itu sering muncul dalam kasus-kasus tersingkirnya masyarakat miskin dari kehidupan sosial masyarakat dan membuat semakin tidak berdaya. Kasus tersebut terjadi sebagai akibat dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek.

Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan program pembangunan dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah lemahnya partisipasi masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Berbagai bentuk musyawarah pembangunan dan konsultasi publik dalam pengambilan keputusan hanya terbatas untuk kalangan pemerintah dan kurang melibatkan masyarakat miskin. Masyarakat miskin juga jarang dilibatkan dalam penentuan alokasi anggaran. Pembahasan anggaran hanya dilakukan secara tertutup dan terbatas oleh pemerintah dan parlemen. Kurangnya informasi mengenai proses tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi masyarakat miskin.

b. Beban Kependudukan

Beban masyarakat miskin makin berat akibat besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumah tangga tidak miskin. Rumah tangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang. Beratnya beban rumah tangga menyebabkan peluang anak dari keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan menjadi terhambat dan seringkali mereka harus bekerja untuk membantu membiayai kebutuhan keluarga.

Masyarakat miskin di perdesaan seringkali terpaksa pindah ke kota dengan harapan akan mendapat kesempatan kerja untuk memperoleh pendapatan. Akibat langsung dari urbanisasi adalah meningkatnya beban kota dalam menyediakan fasilitas layanan publik dan lapangan kerja, dan meningkatnya permukiman di bantaran sungai, pinggiran rel, kolong jembatan dan lahan kosong lainnya.

c. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender

Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki berbeda dari perempuan. Kemiskinan dan pemiskinan perempuan mengikuti deret ukur, sementara laki-laki mengikuti deret hitung. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki yang bekerja melalui pendekatan, metodologi, dan paradigma pembangunan. Sistem pemerintahan yang hirarki, hegemoni dan patriarki telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif gender. Angka yang menjadi basis pengambilan keputusan, penyusunan program dan pembuatan kebijakan, tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki. Data tersebut dikumpulkan secara terpusat tanpa memperhatikan kontekstualitas dan tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan-laki-laki sehingga kebijakan, program, dan lembaga yang dirancang menjadi netral gender dan menimbulkan kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan.

Budaya patriarki yang dilegitimasi oleh negara, mengakibatkan perempuan berada pada posisi tawar yang lemah, sementara suara perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya tidak tersalurkan melalui mekanisme pengambilan keputusan formal. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi positif antara keterwakian perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif dengan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi partisipasi perempuan, maka semakin tinggi kesejahteraan masyarakat dan keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Pengalaman dan penghayatan perempuan terhadap persoalannya mengakibatkan pengelolaan dan pengendalian tata pemerintahan menjadi efisien dan efektif. Masalah keterwakilan suara dan kebutuhan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan publik tersebut sangat penting karena produk kebijakan yang netral gender hanya akan melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang berakibat pada pemiskinan kaum perempuan.

MENANGGULANGI KEMISKINAN DESA

Greogrius Sahdan

Penulis mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia (2003) mengenai penyebab dasar kemiskinan, yaitu

  1. Kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal
  2. Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana
  3. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor
  4. Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung
  5. Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern)
  6. Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat
  7. Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya
  8. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance)
  9. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.

Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah :

  • Kepemilikan tanah dan modal yang terbatas
  • Terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan
  • Pembangunan yang bias kota
  • Perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat
  • Perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi
  • Rendahnya produktivitas
  • Budaya hidup yang jelek
  • Tata pemerintahan yang buruk
  • Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Daftar Pustaka

BAPPENAS. 2004. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan;

Jakarta

Kusnadi; Dinamika Kelompok Etnik, Etnisitas dan Pembangunan Daerah (Konflik Sosial dalam Perebutan Sumberdaya); 2005

Mustasya, Tata; Kemiskinan, Modal Sosial dan Kelembagaan; 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar