Rabu, 21 April 2010

TERIAKAN DARI BALIK SERPIHAN PASIR OLEH: YOHANES REINNAMAH A. LATAR BELAKANG Setelah Indonesia merdeka, maka pembangunan terus di tingkatkan dengan be

TERIAKAN DARI BALIK SERPIHAN PASIR

OLEH: YOHANES REINNAMAH

A. LATAR BELAKANG

Setelah Indonesia merdeka, maka pembangunan terus di tingkatkan dengan beberapa esensi kebijakan dari pemerintah yang merujuk pada kesejahteraan masyarakat umum. Kebijakan yang di ambil di buat dalam sebuah kesepahaman secara bersama yang di perkirakan akan menguntungkan masyarakat dari kacamata pemerintah. Namun, disadarai ataupun tidak kebijakan yang di buat tidak seutuhnya berpihak pada kemakmuran dan kepentingan rakyat tetapi berdasarkan kepentingan pemerintah dalam mengeksploitasi sebagian sumberdaya yang ada dengan dasar pikir program yang di implementasikan berorientasi pada “PROYEK” semata.

Setelah sekian tahun menjalani hari-hari yang begitu fenomenal hingga terekam di dalam setiap dada insan yang menjalaninya dengan penuh hikmah maka muncullah suatu zaman pembangunan yang mana paham yang di terapkan seutuhnya berpihak pada masyarakat khususnya masyarakat pesisir yang terpinggirkan. Ini di sadari akan menyembuhkan luka di dalam setiap ingatan masyarakat akibat kebijakan yang di ambil pemerintah yang bersifat “Top Down”, dengan berdalih pada paradigma atau perspektif pola pikir secara“Bottom-up”.

Teriakan dari balik serpihan pasir menggambarkan suatu tanggung jawab moril yang harus di emban oleh masyarakat pesisir, akibat paradigma masyarakat modern yang mengklaim bahwa masyarakat pesisir identik dengan kemiskinan, kotoran, yang mana sebagian masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan akibat pemiskinan yang di timbulkan oleh pihak-pihak yang mengambil bagian dalam pembagian kawasan dan eksploitasi wilayah ini, padahal mereka hidup berdekatan dengan asal sumberdaya alam yang beragam dan kaya. Sehingga, masyarakat membutuhkan suatu sentuhan gaib yang mampu untuk mengangkat kembali tingkat kehidupan mereka kearah yang layak dengan memperhatikan kebijakan yang di ambil.

B. TUJUAN

Tulisan ini hanya merupakan sebuah masukan kepada Dinas Kelautan Dan Perikanan dalam menjawab sebuah fenomena yang terjadi pada masyarakat umum terlebihnya masyarakat pesisir yang terpinggirkan yakni kemiskinan, tentang suara-suara yang muncul dari balik layar kehidupan percaturan kepentingan yang menggeliat di dunia perikanan khususnya wilayah pesisir


C. PEMBAHASAN

Kemiskinan masyarakat pesisir Indonesia sudah mencapai angka cukup tinggi yakni sekitar 80 persen dengan pendidikan rendah. Padahal, wilayah pesisir yang mencapai sekitar 81.000 km merupakan salah satu kekayaan yang paling besar yang dimiliki Indonesia. Kekayaan ini bukannya tidak dimanfaatkan dalam berbagai bentuk kegiatan pembangunan, melainkan sudah digunakan untuk kegiatan perikanan, pariwisata bahari, dan pertambangan. Bahkan, sudah menjadi sumber hidup jutaan penduduk Indonesia. Demikian disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Ir. Ali Supardan, M.Sc. baru-baru ini.

Menurutnya, kemiskinan yang dialami masyarakat pesisir ini bisa terjadi karena masih rendahnya pendidikan dan banyaknya konflik kepentingan yang ingin memanfaatkan wilayah pesisir. Menyoal rendahnya pendidikan ini, ia mengatakan DKP sudah bekerja sama dengan Departemen Pendidikan untuk mengupayakan fasilitas pendidikan masyarakat nelayan. ''Kami juga berusaha mengupayakan agar pendidikan yang diperoleh masyarakat nelayan ini bisa gratis,'' katanya.

Diharapkan melalui pendidikan yang lebih tinggi, kesejahteraan masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan ini bisa ditingkatkan. Selain itu, pemerintah juga menyalurkan program bantuan modal kepada masyarakat pesisir yang dinamakan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).

Dia memaparkan selama 2000-2003, pola yang diterapkan dalam PEMP ini berupa bantuan dana bergulir yang bisa dipinjam dan dikelola koperasi. Namun, pada 2004 hingga saat ini sistem dana bergulir itu diubah dan diserahkan melalui perbankan. Dalam hal ini peminjam masih berasal dari koperasi, namun yang hanya koperasi simpan pinjam yang merupakan binaan perbankan dengan nama Swamitra Mina Koperasi. ''PEMP yang digulirkan sejak tahun 2004 murni menggunakan sistem perbankan,'' jelasnya.

Dia mengemukakan untuk 2005 ini besar dana PEMP yang disediakan pemerintah mencapai sekitar Rp 120 milyar untuk 147 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Setiap kabupaten/kota memperoleh bagian sekitar Rp 600 - 800 juta. Secara umum, lanjutnya, berdasarkan beberapa laporan mengenai PEMP ini terdapat peningkatan pendapatan peserta program hingga 60 persen. Di samping itu, tumbuh pula minat menabung dari kalangan peserta dan semakin eratnya kerja sama antarindividu dalam hal pembagian informasi pasar. Lebih penting lagi, tekannya, keterikatan dengan tengkulak perlahan-lahan mulai bisa diminimalisasi.

Terkait konflik pemannfaatan ruang wilayah pesisir, dikatakan Supardan, saat ini telah ada rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir (RUU PWP). Sementara ini, RUU tersebut masih berupa draf yang sedang disempurnakan. Bila telah rampung penyempurnaannya, draf RUU PWP itu akan dibawa ke DPR melalui pembuatan Amanat Presiden, karena sifatnya yang sangat diperlukan dalam waktu secepatnya. ''Kalau bisa 2005 ini sudah bisa disahkan, sebab keberadaan UU ini sangat penting untuk kepastian hukum jaminan usaha berbagai sektor yang menyangkut pemanfaatan laut dan wilayah pesisir,''

Asal petikan sebuah nyanyian yang mengisahkan tentang asal-usul nenek moyang bangsa yakni “Pelaut”. Petikan ini pastinya tidak lagi asing di telinga kita. Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita tentang dendangan lagu tersebut. Tapi apakah kita sadar, ternyata nyanyian itu tidak hanya sekedar nyanyian belaka. Pelaut sangat identik dengan orang-orang yang hidup di daerah perairan atau lebih tepatnya disebut dengan laut. Indonesia, sebuah negara maritime yang lebih dari wilayah lautnya meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah Negara dan memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi pertiwi ini.

Rasanya sulit untuk sekedar menyetujui pertanyaan ini. Kenyataannya, nelayan yang mendiami wilayah pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan (masih bergantung pada paradigma sistem berbasis daratan). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang dan hutan mangrove, dan hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.

Hal tersebut menimbulkan sebuah ironi yang sangat bagi kita semua karena bagaimana bisa, sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah (SDA) malah tidak memberikan kesejahteraan bagi para nelayan dan apa sebetulnya yang menjadi masalah prioritas dalam menggali hal ini? Makalah ilmiah ini berupaya memberikan informasi mencari solusi secara ilmiah menyangkut hal ini.

Kemiskinan dan Anekdot bernama Persamaan dan Kesamaan di Hadapan Hukum

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam suatu kelompok tertentu untuk memenuhi atau mensejahterakan kelompoknya. Kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi saja, karena kemiskinan ternyata berkaitan erat dengan berbagai aspek, diantaranya aspek sosial budaya, bahwa persoalan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan budaya. Dari sudut ini, kita dapat melihat bahwa budaya turut ambil bagian dalam membuat seseorang menjadi miskin.

Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang (secara social dengan tingkat perbedaan kelas yang nyata maupun ekonomi dengan kepemilikan modal untuk memperoleh kekuasaan).

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi, yaitu :

· Dimensi Ekonomi

Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

· Dimensi Sosial dan Budaya

Kekurangan jaringan social dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.

· Dimensi Sosial dan Politik

Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem social politik.

Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin dan pemiskinan (secara struktural). Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun, akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan di hadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang.

Ironisnya, lebih sering hukum berlaku yang sebaliknya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering juga melestarikan ketidakadilan hukum secara sosial antara orang yang kuat (kaya) yang memiliki kekuasaan dan orang yang lemah (miskin) tanpa kekuasaan sehingga atrata ini memunculkan pemiskinan secara struktural. Hidup dibagi dalam beberapa kelas, dan mimpi kita tentang ”persamaan dan kesamaan di hadapan hukum” semakin lama semakin memudar. Contoh yang sangat menarik di kemukakan oleh C.J.M. Schuyt – dalam bukunya Keadilan dan Effektivitas dalam Pembangunan Kesempatan Hidup – yaitu dalam peristiwa tragedi kapal Titanic yang tenggelam di laut Atlantik. Kapal yang terdiri dari 3 kelas itu memberikan bukti, bahwa penumpang kelas I lebih terjamin keselamatannya jika dibandingkan dengan penumpang kelas II dan III, dan penumpang kelas II lebih terjamin dari penumpang kelas III. Contoh lain dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, bahwa seseorang yang mampu membayar advokat kelas satu akan mendapat harapan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang hanya mampu membayar seorang pengacara masyakat (pokrol bambu). Seorang yang mampu membayar seorang dokter spesialis akan mempunyai harapan lebih besar untuk sembuh ketimbang seseorang yang hanya mampu membayar seorang mantri biasa.

Melalui pandangan-pandangan berupa contoh tersebut, jelaslah bagi kita bahwa kelebihan uang atau kekayaan ternyata memberikan jaminan keselamatan yang lebih baik. Pada akhirnya kita memang harus mengakui bahwa perbedaan ciri sosial dalam pembedaan kelas (sosial) memang telah menjadi sifat dasar kehidupan kita. Rasa hormat atau kepercayaan terhadap ”persamaan” adalah sebagai wacana tipuan kaum intelektual untuk melakukan pembodohan terhadap masyarakat yang masih berada dalam ketimpangan pendidikan (butahuruf). Dan ini semua adalah contoh dari ketidakjujuran kita terhadap diri sendiri terutama ”hati nurani”.

Kondisi Nelayan Indonesia

Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdebatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan masyarakat di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

Analisa Penyebab Kemiskinan Nelayan

Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Untuk itu, terlebih dahulu harus di analisa akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan khususnya masyarakat wilayah pesisir.

Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

1. Kondisi Alam

Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle) setiap tahunnya.

2. Tingkat pendidikan nelayan

Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.

3. Pola kehidupan nelayan sendiri

Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah

4. Pemasaran hasil tangkapan

Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.

5. Program pemerintah yang tidak memihak nelayan

Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan.

Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing.

Patron-Klien, sebuah Hubungan Simbiosis Mutualisme atau Parasitisme?

Tidak semua nelayan memiliki perahu sendiri. Nelayan yang tidak mempunyai modal untuk membeli perahu, terpaksa meminjam uang kepada tengkulak. Pada umumnya para tengkulak (tokeh/patron) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim atau “nombok”. Ketergantungan nelayan pada tokehnya berawal dari utang/pinjaman, dan biasanya dilakukaan pada saat paceklik atau memperbaiki kerusakan alat tangkap seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian, ada juga pihak yang menilai bahwa keberadaan para patron (tokeh) tersebut justeru menolong nelayan. Konon, selama ini negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun ada bank, mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap sebagai faktor produksi tak bisa jadi agunan.

Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Konsekuensinya adalah mereka harus menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak/juragan tersebut yang bisa memainkan harga ikan semaunya tanpa memperdulikan harga pasaran.

Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).

Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah condong belum tentu bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya.

Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal (patron). Dari hal tersebut, bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.

Masalah Kelautan dan Perikanan Indonesia di Mata Dunia

Walau sebagai negara maritim yang sejak zaman nenek moyang dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung, Indonesia masih terlalu lemah poisisinya dalam “peta” kelautan dunia. Persoalan tapal batas, pemetaan teritori garis pantai sampai penamaan pulau-pulau dan kalkulasi jumlah pasti sebaran pulau Indonesia memang menjadi masalah sejak masa awal Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Sehingga friksi perbatasan laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara tetangga yang berbatas laut langsung dengan Indonesia (terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Australia). Hal ini juga bersinggungan dengan faktor keamanan laut, illegal fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan lainnya. Data statistik menunjukan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing. Persoalan ini masih ditambah dengan aspek lingkungan hidup kelautan kita yang jauh dari kategori ideal. Padahal Indonesia punya potensi kelautan yang luar biasa besar dan posisi tawar yang tinggi secara ekonomi, strategi dan politik.

Di tengah banyaknya persoalan dan masalah di bidang kelautan yang belum terselesaikan, Inisiatif dan gagasan besar dari Indonesia demi lestarinya laut dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan acara konferensi internasional bertajuk “World Ocean Conference” dan “Coral Triangle Initiative Summit” yang digelar sepanjang 11 hingga 15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara. dihadiri oleh perwakilan dari 121 negara.

Agenda pokok yang akan dibahas dalam WOC dan CTIS tersebut adalah:

1. Penentuan bentang laut (sea scapes) prioritas yang cukup luas untuk percontohan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan untuk setiap negara peserta.

2. Pengembangan jejaring kawasan konservasi laut.

3. Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dan pengelolaan sumber daya hayati laut.

4. Pengembangan pendanaan yang berkelanjutan, termasuk pengembangan kapasitas dan pelibatan sektor swasta.

5. Penyesuaian terukur terhadap perubahan iklim.

6. Memperbaiki status ancaman terhadap beberapa spesies laut.

Pentingnya WOC dan CTIS bagi Indonesia dan negara-negara peserta, juga dilatarbelakangi kurangnya kepedulian dunia internasional terhadap pelestarian laut dan pengelolaan kekayaan hayatinya. Selaku tuan rumah, diharapkan Indonesia dapat memegang peran penting dalam isu di bidang kelautan sehingga posisi tawar dan eksistensi Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia – setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia – dapat meningkat. Pada akhirnya, kita semua sama-sama berharap, dengan terselenggarannya WOC dan CIT akan menjadi satu langkah besar yang positif untuk membenahi sektor kelautan kita.

D. SARAN

Langkah yang Harus Kita Ambil

Keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sangat dibutuhkan sekali, tujuannya adalah untuk menghilangkan egosektor dari masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan tersebut adalah sebagai berikut : pertama, keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan. Keputusan penanganan kemiskinan nelayan harus diambil melalui proses koordinasi diinternal pemerintah, yang perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak akan mampu ditangani oleh secara kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, mulai dari pusat sampai kedaerah. Kedua, keterpaduan keahlian dan pengetahuan, untuk merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan program harus didukung berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian, tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun betul-betul sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan. Ketiga, keterpaduan masalah dan pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar permasalahan yang sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat komprehensif, dan tidak parsial. Keempat, keterpaduan lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan (lintas sektor), sehingga program tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efesien.

Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut :

1. Perumusan sasaran yang jelas, berupa ; hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan yang dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan.

2. Pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), tujuannya untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan kemiskinan nelayan.

3. Penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan, dibatasi waktu dan terukur), sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat ditentukan dengan jelas.

4. Menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang telah ditetapkan dengan realiatas yang ada dilapangan, dan apabila terjadi permasalahan diluar dugaan, maka perlu segera dibuatkan stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang perbedaan.

5. Pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal kegiatan dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global.

Menciptakan Program Pemerintah yang Memihak

Bahwa musim paceklik akan hadir dalam setiap tahunnya. Oleh karenanya berbagai strategi adaptasi dilakukan masyarakat nelayan untuk bertahan hidup. Strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk mencari nafkah. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.

Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.

Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah diversifikasi pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi adaptasi tersebut diselingi dengan menjual barang-barang berharga yang ada dan berhutang. Namun, kedua strategi ini pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor telah membatasi akses mereka.

Dengan segala keterbatasan yang ada, masyarakat nelayan mengembangkan sistem jaringan social yang merupakan pilihan strategi adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat mengakses sumberdaya ikan yang semakin langka. Jaringan sosial diartikan oleh Mitchell sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara kelompok orang.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang nyata dalam mengatasi masa pacaklik ini, salah satunya jaminan sosial. Jaminan yang dibutuhkan masyarakat nelayan tidak muluk-muluk, mereka hanya memerlukan tersedianya dana kesehatan dan dana paceklik. Sementara itu, kebijakan tersebut harus disusun oleh struktur sosial budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan. Hal ini dikarenakan, pranata-pranata sosial budaya yang ada merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitas ekonomi lainnya.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di sektor kelautan dan perikanan yang saat ini digalakkan oleh pemerintah, diharapkan bisa menurunkan angka kemiskinan nelayan di Indonesia. Melalui pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat yang berbasis pada sumber daya lokal, baik masyarakat maupun sumber daya alamnya, para nelayan dapat mengembangkan usaha sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Dengan demikian, diharapkan dapat memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di kalangan masyarakat nelayan.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap Tempat Pemasaran Ikan (TPI) yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari para nelayan.

Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan.

Selain mengambil kebijakan yang memihak, hukum juga harus difungsikan sebagai sarana perubahan social. Kita bisa ambil contoh kebijakan pemerintah di Malaysia yang sangat memihak kepada pribumi, dalam hal ini etnis Melayu. dalam regulasinya, pemerintah Malayasia mendorong agar 20 – 25 persen kepemilikan saham-saham perusahaan dikuasai oleh etnis Melayu. Bahkan pada tahun 2020, Malaysia menargetkan kepemilihan saham etnis Melayu bertambah menjadi 30 persen. Dalam hal ini, Hukum dapat difungsikan sebagai alat rekayasa social untuk mensejahterakan para nelayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar