Sabtu, 08 Mei 2010

MAKALAH ANALISA PERSPEKTIF MASYARAKAT PESISIR PANTAI OEBELO (WARGA EKS-TIMOR-TIMUR) TENTANG KONSERVASI MANGROVE DI WILAYAH PESISIR PANTAI OEBELO DESA

MAKALAH ANALISA PERSPEKTIF MASYARAKAT PESISIR PANTAI OEBELO (WARGA EKS-TIMOR-TIMUR) TENTANG KONSERVASI MANGROVE DI WILAYAH PESISIR PANTAI OEBELO DESA OEBELO KECAMATAN KUPANG TENGAH KABUPATEN KUPANG

oleh yohanes reinnamah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta hektar dan yang telah mengalami kerusakan sekitar 5,30 juta hektar. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh konversi mangrove menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, dan industri, padahal mangrove berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan organisme akuatik. Konversi mangrove yang tidak terkendali dibarengi dengan penumpukan limbah organik dari sisa pakan, ini disinyalir telah menyebabkan munculnya ketidakeseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai sehingga harapan ekosistem ini akan tetap terjaga dan dapat berfungsi sebagai biofilter sia-sia.

Kepala Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur (NTT) Joseph Diaz mengatakan, sekitar 9.989 hektar (2,25 persen) hutan bakau di provinsi itu rusak dari 40.695 hektar yang ada.

Dari 40.695 hektar luas hutan mangrove di NTT ini sudah banyak yang mengalami tekanan di antaranya akibat penebangan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar. Pada wilayah ini (pesisir), ekosistem ini pada beberapa lokasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya. Hutan mangrove di NTT tidak sebanyak di pulau-pulau besar di Indonesia karena kondisi alam di NTT yang membatasi pertumbuhan mangrove, seperti kurangnya muara sungai yang besar di NTT sehingga pertumbuhan mangrove yang ada sangat tipis.

"Hasil survei itu juga menemukan hutan mangrove di NTT, terdapat kurang lebih sembilan famili yang terbagi dalam 15 spesies bakau genjah (Rizophora mucronata), bakau kecil (Rizophora apiculata), bakau tancang (Bruguera), bakau api-api (Avecinnia), bakau jambok (Xylocorpus), bakau bintaro (Cerbera mangkas), bakau wande (Hibiscus tiliacues). Namun, keberadaan spesies ini, sebagai salah satu sumber daya pesisir dan laut NTT, terdegradasi yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) dalam mendukung pembangunan daerah.

Di NTT, degradasi sumber daya pesisir dan laut ini disebabkan tidak saja oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam, seperti perubahan suhu dan salinitas air laut, perubahan iklim, dan ombak keras. Namun, dari data yang diperoleh, kerusakan yang lebih banyak dan lebih parah diakibatkan pengaruh antropogenic (aktivitas manusia), antara lain tumpahan minyak dan sampah, tangkapan berlebih (overfishing), penambangan terumbu karang dan pasir, dan juga kegiatan-kegiatan-kegiatan lain yang di lakukan untuk kepentingan pribadi atau instansi-instansi lain tanpa memperhatikan kepentingan pribadi atau golongan.

Desa Oebelo merupakan sebuah desa yang terletak di wilayah pesisir yang langsung berdekatan dengan aktivitas masyarakat setempat (warga eks timor-timur). Sehingga dalam pemanfaatan dan pengelolaannya perlu di perhatikan keberlanjutan ekosistem ini, oleh karna itu, perlu untuk di lakukan sebuah kajian ilmiah tentang “Analisa Perspektif Masyarakat Pesisir Pantai Oebelo (Warga Eks-Timor-Timur) Tentang Konservasi Mangrove Di Wilayah Pesisir Pantai Oebelo Desa Oebelo Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang”, sehingga dalam implementasi seluruh aktivitas masyarakat mereka dapat memahami konsep pengelolaan sumberdaya untuk keberlanjutan ekosistem secara terpadu.

1.2. Tujuan dan Manfaat

1.2.1. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui seberapa besar peran masyarakat (warga eks timor-timur) yang mendiami wilayah pesisir pantai oebelo dalam melestarikan sumberdaya (ekosistem mangrove) yang ada dan juga untuk mengetahui seberapa besar pemahaman masyarakat dalam melakukan upaya konservasi khususnya ekosistem mangrove

1.2.2. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai suatu kajian ilmiah bagi proses pembelajaran di fakultas perikanan UKAW khususnya program study manajemen sumberdaya perairan dan merupakan bahan informasi bagi pihak-pihak atau instansi yang membutuhkan informasi ini.

1.3. Rumusan Masalah

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji potensi dan melakukan penilaian terhadap obyek penelitian di pesisir pantai yang ada di Desa Oebelo berdasarkan Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang konservasi.

Dengan melihat pada keberagaman kebutuhan masyarakat wilayah pesisir dalam hal ini warga eks timor-timur di Desa Oebelo yang menggunakan pohon dan batang atau ranting mangrove untuk memenuhi setiap kebutuhan hidupnya maka perlu di lakuan penelitian ini sehingga memberikan sebuah informasi atau kajian ilmiah tentang keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir pantai desa Oebelo sehingga dengan penelitian ini maka akan mengurangi aktivitas masyarakat yang memberikan konversi pada ekosistem wilayah pesisir dalam hal ini ekosistem mangrove, sehingga pemanfaatan yang tidak terkendali dapat teratasi dengan baik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Mangrove

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif.Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai. (Santoso, 2004)

Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO (1982) : mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Istilah mangrove merupakan perpaduan dari dua kata yaitu mangue dan grove. Di Eropa, ahli ekologi menggunakan istilah mangrove untuk menerangkan individu jenis dan mangal untuk komunitasnya. Hal ini juga dijelaskan oleh Macnae (1968) yang menyatakan bahwa kata nmangrove seharusnya digunakan untuk individu pohon sedangkan mangal merupakan komunitas dari beberapa jenis tumbuhan. (Santoso, 2000)

Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang).

2.2. Peran Mangrove

Berdasarkan pembentukannya, ekosistem pesisir terbagi atas ekosistem yang terbentuk secara alami dan ekosistem yang sengaja dibentuk untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, yang dikenal dengan ekosistem buatan. Ekosistem pesisir yang terbentuk secara alami antara lain terumbu karang (coral reef), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (seagrass), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), pulau-pulau kecil dan laut terbuka, estuari, laguna dan delta (Dahuri et al 1996), sedangkan ekosistem buatan yang umumnya berada di wilayah pesisir adalah areal pertambakan bandeng dan udang.

Hutan bakau atau hutan mangrove memiliki beberapa nilai penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis keberadaan hutan mangrove merupakan suatu ekosistem penyangga bagi kawasan pesisir secara luas. Keberadaan hutan mangrove layaknya satu mata rantai yang tidak dapat terpisahkan dengan ekosistem lainnya, yaitu ekosistem vegetasi hutan pantai, padang lamun, dan terumbu karang. Kehancuran salah satunya merupakan ancaman bagi ekosistem lainnya. Terlebih perannya sebagai pelindung bagi daratan yang berdekatan langsung dengan ekosistem mangrove. Ikan, udang, kepiting, dan organisme lainnya menempatkan kawasan mangrove sebagai daerah asuhan (Nursery ground), daerah untuk bertelur (spawning ground), dan daerah untuk mencari makan (Feeding ground). Hal tersebut menunjukan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi bagi biota perairan tersebut.

Secara ekonomis, kawasan mangrove dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat sekitar melalui berlimpahnya ikan, udang, kepiting, maupun organisme ekonomis lainnya. Kayu dari pohon mangrove pun merupakan salah satu bahan baku arang yang memiliki kualitas baik. Pemenuhan kebutuhan bahan baku arang dari kayu mangrove dapat dilakukan melalui upaya pengelolaan yang bijaksana, bukan memangkas habis hutan mangrove nya. Bagian lainnya (daun dan buah) dari pohon bakau pun dapat dijadikan produk kerajinan maupun makanan. Kemandirian masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove dapat dilihat dari seberapa arif warganya dalam memenuhi kebutuhan hidup dari alam dengan diolah dan dikelola tanpa harus merusaknya (DKP, 2005 dalam setiawan, 2009), dan daerah lainnya.

2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan Ekosistem Mangrove

2.3.1. Cahaya

  • Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove
  • Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove
  • Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya
  • Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak dari pada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.

2.3.2. Curah Hujan

  • Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove
  • Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah
  • Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun

2.3.3. Suhu

  • Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
  • Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang
  • Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C
  • Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C

2.3.4. Angin

  • Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus
  • Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove

2.3.5. Salinitas

  1. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 promill
  2. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan
  3. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang
  4. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air

2.3.6. Oksigen Terlarut

  1. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.
  2. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari

2.3.7. Substrat

  1. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove
  2. Rhizophora mucronata sp dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur
  3. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir
  4. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat
  5. Konsentrasi kation Na, Mg, Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia, Sonneratia, Rhizophora/Bruguiera
  6. Mg, Ca, Na atau K yang ada adalah Nipah
  7. Ca, Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca

2.3.8. Hara

Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan organik.

  1. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na
  2. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga). (Indriyanto, 2006)

2.4. Pemberdayaan Masyarakat Wilayah Pesisir

Pemberdayaan masyarakat pesisir diartikan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi dan/atau mendorong dan/atau membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya di sekitarnya. Secara teoritik, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya menguatkan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar menggali potensi dirinya dan berani bertindak untuk memperbaiki kualitas hidupnya di antaranya dengan melibatkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan lahan pesisir. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung program-program pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan dan mengembangkan program-program pembangunan, khususnya di lahan wilayah pesisir. (Iskandar 2001).


2.5. Upaya pelestarian wilayah pesisir

Kelestarian wilayah pesisir merupakan kebutuhan bersama para stakeholders. Pemanfaatan sumberdaya pesisir hendaknya tetap mempertimbangkan fungsi dan manfaat pesisir yang sangat besar bagi kehidupan biota dan kelangsungan hidup masyarakat, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan wilayah pesisir. Dahyar (1999) menyatakan, secara fisik, kawasan pesisir merupakan kawasan vital bagi sesamanya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, sedangkan dari segi ekologi, pesisir sangat dibutuhkan oleh biota perairan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Kawasan pesisir juga merupakan kawasan penyangga dan pelindung lautan dari pengaruh daratan dan demikian pula sebaliknya, sehingga kerusakan wilayah pesisir akan berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap kelestarian ekosistem pantai dan laut serta kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di wilayah pesisir.

Strategi konservasi merupakan satu strategi pengelolaan yang saat ini sedang dikembangkan di wilayah pesisir. Berdasarkan strategi konservasi, pengelolaan wilayah pesisir dimungkinkan untuk pengembangan multi sektor sepanjang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan dilakukan pada wilayah yang sesuai dengan peruntukannya. Guna keperluan pelestarian pemanfaatan wilayah pesisir, diperlukan satu peta sumberdaya alam dan lingkungan pada kegiatan perencanaan pengelolaan wilayah sebagai langkah awal pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Tahapan tersebut, di samping untuk menentukan kawasan pelestarian, pemanfaatan dan perlindungan, juga untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan bagi para pemangku kepentingan.

Satu di antara beberapa jenis upaya konservasi yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir adalah koservasi daerah pantai. Pengembangan konservasi pantai harus memperhatikan dua komponen yang berhubungan dalam menjamin kelancaran kegiatan tersebut. Dua komponen tersebut adalah permintaan dan sediaan. Permintaan menyangkut aspek tingginya nilai kebutuhan masyarakat untuk memperoleh sesuatu melalui kegiatan pemanfatan, sedangkan nilai sediaan berhubungan dengan kemampuan obyek untuk kebutuhan dan kepantingan pasar. Komponen permintaan terdiri atas mlokal, domasyarakat lokal sedangkan komponen sediaan terdiri atas mangrove yang termasuk di dalamnya. (Dahuri, 1996)


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Adapun waktu yang di gunakan dalam melakukan penelitian ini adalah pada bulan…di sekitar pesisir pantai Oebelo Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang

3.2. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah: kuisioner, kamera dan perekam, alat tulis-menulis serta populasi masyarakat setempat sebagai sampel penelitian.

3.3. Rancangan Penelitian

Teknik pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan jenis data yang akan dikumpulkan. Pengambilan data sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan dengan pengamatan dan/atau penelusuran dokumen atau hasil penelitian yang relevan yang tersimpan pada beberapa instansi terkait. Data sosial-ekonomi-budaya masyarakat dikumpulkan melalui proses diskusi kelompok terarah (focus group disscusion) dan studi dokumen.

Responden yang dimaksud adalah tokoh adat, pemerintah desa dan masyarakat desa yang berada di wilayah pesisir dan yang berperan dalam upaya konservasi di Desa Oebelo (Warga eks Timor-Timur). Wawancara yang dilakukan dengan berpedoman pada kuisioner yang telah disiapkan.

3.4. Analisa Data

Data yang di ambil di analisa dengan menggunakan 2 komponen utama yaitu:

1. Menganalisa kebutuhan masyarakat sesuai dengan tuntutan serta tekanan ekonomi yang terjadi pada masyarakat setempat

2. Hasil responden sesuai dengan kuisioner yang telah di sediakan, mengacu pada sejauh mana upaya pelestarian mangrove oleh masyarakat desa oebelo (warga eks timor-timur)

3. Upaya pelestarian di sesuaikan dengan standart yang di keluarkan oleh dinas kehutanan Republik Indonesia yakni di tinjau dari segi social ekonomi masyarakat setempat.(Warga eks Timor-Timur)

Daftar Pustaka

Dahuri, R. 1996. Panduan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Iskandar, J. 2001. Daerah Perlindungan Laut: Arti Penting dan Pengelolaanya

Santoso. N. H. W. Arifin. 2004. Rehabilitasi Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia.

Santoso. N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Nasional Pengembangan System Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

Setiawan. A. H. Ir. Dr. 2009. Mangrove dan perubahan iklim. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad.Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar