Senin, 03 Mei 2010

nasipmu lamalera di atas ambang kemakmuran budaya indonesia oleh: yohanes reinnamah

nasipmu lamalera di atas ambang kemakmuran budaya indonesia

oleh: yohanes reinnamah

ADALAH seorang tokoh masyarakat Lamalera di Kupang, Bapak Yos Tukan memulai ceritera tentang ihwal ia mengetahui bahwa masyarakat Lamalera, keluarga besar di kampungnya, kampungku juga, tengah gundah gulana memikirkan nasib hidupnya di laut. Tanpa menyebut siapa pengirimnya, anggota DPRD Kota Kupang ini memulai. "Suatu hari awal Maret, saya mendapat SMS yang isinya kira-kira seperti ini: BERITA DUKA, Lamalera akan kehilangan tradisi penangkapan ikan paus karena akan ditetapkannya Laut Sawu sebagai Kawasan Konservasi."

Berita Duka! Siapapun anak manusia di bumi ini tentu saja berduka kalau tradisi kehidupannya akan dihabisi. Kalau SMS itu menyebar ke seluruh warga Lamalera yang ada di mana-mana belahan Indonesia ini, bahkan dunia ini, betapa ribuan warga Lamalera berduka menangisi nasib keluarga, nasib perkampungan mereka, kampung saya, Lamalera.

Lalu Lamalera pun bergolak. Berontak! Tentu saja, masyarakat saya akan melakukannya. Apa pun risiko yang harus mereka hadapi, bahkan hingga titik darah penghabisan. Sebab, saudara-saudara saya adalah tipikal manusia 'keras', tak mudah menyerah. Hidup di tanah tandus berbatuan dan harus mempertaruhkan nyawa di Lautan Sawu telah membentuk jiwa juang mereka, saudara-saudara saya. Ketika Pos Kupang edisi 4 Maret 2009 menurunkan berita "Warga Lamalera Tolak Larangan Berburu Paus" saya seolah-olah hadir, duduk di salah satu teras rumah yang mengitari Namang Blikololog di Lamalera A.

'Panas', selalu hal itu yang terjadi kalau ada masalah kampung yang harus diselesaikan bersama antara dua kampung saya, Lamalera A dan B. Sebab demokrasi bukan 'barang asing' di kehidupan masyarakat Lamalera. Saudara-saudara saya adalah orang-orang pintar dan saya tahu persis bagaimana mereka berbicara mengemukakan pendapatnya, apalagi segala sesuatu itu menurutnya benar. Almarhum Pater Bosko Beding bahkan pernah menulis tentang kampungnya begini: orang Lamalera kalau bicara, tak bisa pelan. Suara pasti keras hingga urat leher terlihat jelas. Lantaran sudah terbiasa berteriak mengalahkan suara ombak laut selatan yang tak pernah berhenti bergelora.

Lima butir pernyataan pun lahir dari pertemuan enam jam hari itu, usai perayaan misa Minggu (1/3/009). Pertama, mendesak bupati dan DPRD Lembata mendapat kepastian informasi dari Departemen Perikanan dan Kelautan (mestinya Departemen Kelautan dan Perikanan) dan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang penetapan Laut Sawu sebagai konservasi paus. Kedua, menyampaikan informasi kepada nelayan tradisional Lamalera, lengkap dengan penjelasan segala konsekuensi penetapan kawasan konservasi, paling lambat tanggal 30 April 2009. Ketiga, menuntut Pemda Lembata memperjuangkan kepentingan nelayan tradisional Lamalera agar diberi ruang dan kesempatan menangkap paus. Keempat, Pemda Lembata harus memperjuangkan kepentingan masyarakat Lamalera kepada pemerintah pusat agar nelayan tradisional diberi kesempatan menangkap paus secara tradisional. Kelima, memberi perlindungan hukum dan kebijakan hukum yang memadai kepada nelayan tradisional tetap mencari nafkah paus untuk memenuhi kebutuhannya (Pos Kupang, 4/3/2009).

Sejauh mana lima butir pernyataan sikap itu disikapi Pemerintah Daerah Lembata? Berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk menghadirkan masyarakat Lamalera di Lewoleba, Ibu kota Kabupaten Lembata, dua pekan lalu, untuk bertemu dengan tim dari Kupang (Tim tidak ke Lamalera karena warga hanya bisa dikumpulkan pada hari Minggu).

Di forum tersebut masyarakat secara langsung menyampaikan pertanyaan, pernyataan dan keinginan mereka dan tim yang terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan NTT, TNC (The Nature Conservansy) dan WWF juga Pemda setempat menjawabi 'keresahan' masyarakat.

Lanjutannya adalah digelarnya diskusi terbatas "Pandangan Keilmuan Terhadap Perikanan Tradisional Paus" dengan ahli ekologi paus sperm (masyarakat Lamalera menyebutnya koteklema), Direktur APEX Environmental Program Cetacean Laut Asia-Pacific, Dr. Benjamin Kahn. Diskusi di Hotel Astiti, Kupang, Senin (23/3/2009) itu menghadirkan berbagai elemen termasuk tokoh masyarakat Lamalera di Kupang.

Konservasi Laut Sawu

Konservasi menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, mendefinisikan konservasi sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Konservasi dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan melalui pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Perangkat hukum lain yang bisa menjadi pijakan dari upaya konservasi adalah UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan yakni pasal ayat (8) yang mengatakan "Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan."

Ada lagi peraturan pemerintah (PP), Keputusan Menteri (KP) dan Peraturan Menteri (Permen). Namun yang paling spesifik dan kiranya tepat menjawab pertanyaan seberapa pentingnya konservasi itu adalah UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWPPK). Pada bagian ketiga Pasal 28 ayat 1 ditegaskan: Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil diselenggarakan untuk: (a) Menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil; (b) Melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lainnya; (c) Melindungi habitat biota laut; dan (d) Melindungi situs budaya tradisional.

Lalu mengapa Laut Sawu perlu ditetapkan sebagai kawasan konservasi? Laut Sawu terletak di jantung bentang laut Paparan Sunda Kecil di bagian selatan segitiga terumbu karang (the coral triangle) dunia dengan keragaman habitat karang tertinggi di dunia.

Di persimpangan Samudera Pasifik dan Hindia, Laut Sawu menjadi koridor migrasi utama bagi 14 jenis paus termasuk di antaranya jenis paus langka, yaitu paus biru (balaenoptera musculus) dan paus sperm (physeter macrocephalus).

Mengapa Laut Sawu menjadi wilayah migrasi kelompok cetacea dan menjadi tempat hidup aneka ragam terumbu karang? Hampir seluruh wilayah Laut Sawu merupakan daerah bagus yang banyak mengandung fitoplankton yang merupakan bahan dasar rantai makanan di laut.

Alasan-alasan itulah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa Laut Sawu kini dalam proses ditetapkannya sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut (KKPNL) Sawu.

Ada kekhawatiran, seperti yang diungkapkan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, M. Syamsul Maarif. Pada workshop Pemantapan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut (KKPNL) Sawu, 30 Januari 2009 di Kupang, Maarif mengatakan, belum adanya kawasan konservasi laut untuk tujuan perlindungan mamalia laut dan penyu akan mengancam spesies tersebut dari penangkapan komersial.

Maarif juga senantiasa mengingatkan agar proses penetapan KKPNL ini dikomunikasikan dan didiskusikan lebih detail dengan masyarakat, pemda serta para pemangku kepentingan lainnya sehingga ada kesepahaman dalam mengelola KKPN.

Nah, apakah upaya perlindungan (baca: konservasi) perairan Laut Sawu sama dengan melarang masyarakat Lamalera menangkap ikan paus, sebab penangkapan nelayan Lamalera terkategori sebagai penangkapan komersial?

Jawabannya, kita sejenak 'pulang' ke kampung halaman saya dan menelisik sejumlah kearifan lokal sehubungan dengan penangkapan paus -- sesuatu yang dalam bahasa setempat disebut 'glare'. Ini dilakukan sejak masyarakat Lamalera itu 'berada' dan berlaku turun temurun.

Salah satunya yang boleh disebut adalah nelayan Lamalera sangat konsisten untuk tidak menangkap ikan paus yang sedang hamil atau bayi paus. Itu artinya, nelayan Lamalera sebetulnya tidak mau 'memotong' umur hidup seekor paus, membiarkan mamalia ini berkembang biak.

Nelayan Lamalera juga tidak memburu ikan paus jenis seguni (paus biru) karena terlalu riskan untuk ditaklukkan nelayan Lamalera (bobot paus jenis ini ratusan ton).

Nelayan Lamalera juga hanya memanfaatkan musim lefa, tiga bulan dari Mei-Agustus untuk menangkap paus. Artinya, tidak sepanjang tahun nelayan Lamalera memburu paus. Dan yang paling penting adalah nelayan Lamalera tidak menggunakan peralatan modern untuk menangkap ikan paus. Jika ada motor tempel beroperasi (di Lamalera disebut Johnson), itu hanya diperlukan (sesekali) untuk membantu membawa pulang perahu yang membawa ikan paus. Seharian lelah bergulat dengan ikan paus sering membuat kelelahan, karena itu nelayan tidak bisa mendayung dan butuh bantuan Johnson.

Saya percaya, nelayan Lamalera sendiri sebetulnya tidak mau memanfaatkan perahu modern Johnson, sebab mereka tak bisa lagi menyanyikan (bahasa Lamalera : lie) lagu-lagu gembira karena pulang membawa hasil. Johnson yang beroperasi di Lamalera --- itu pun hanya sekitar 2 atau 3 saja -- tidak menangkap ikan paus. Jika kenyataannya nelayan Lamalera sendiri tanpa disadarinya sudah melindungi laut, sumber hidupnya, masih perlukah konservasi?

Beberapa contoh dilontarkan Dr. Benjamin Kahn. Masyarakat Aborigin tetap melakukan penangkapan duyung, dan beberapa spesies yang dilindungi di kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Atau juga, orang Eskimo tetap berburu satwa dalam area konservasi. Asalkan tidak ada upaya modernisasi yang justru menghilangkan nilai-nilai asli budaya setempat.

Lebih tegas, Dr. Benjamin Kahn yang sejak 2001 hampir setiap tahun mengunjungi Lamalera berujar, "The sperm whales would not extinct just because they are hunted by fisherman in one village" (ikan paus tidak bisa punah hanya karena satu desa menangkap paus). Di Lamalera, lanjut Kahn, mungkin bisa dihitung berapa banyak ikan paus yang mati, tetapi di luar sana, di belahan bumi yang lain di dunia, kita tidak tahu berapa banyak ikan paus yang mati karena polusi laut.

Jadi, yang dikhawatirkan adalah penggunaan jejaring dan peralatan modern lainnya, juga buangan limbah-limbah industri yang mengakibatkan kepunahan paus. Nah, jika tidak dilindungi, diatur pengelolaannya, bukan tidak mungkin suatu hari kelak, paus benar-benar habis dan itu berarti penangkapan tradisionil nelayan Lamalera hanya sebuah ceritera masa lampau untuk anak cucu. Hanya sebuah nama!

Saya percaya, untuk alasan keberlangsungan hidupnya, Saudara-Saudara saya, keluarga saya di Lamalera, akan sangat mendukung upaya konservasi. Sebab sebetulnya mereka tetap menjalani tradisi menangkap ikan paus, mendapatkan hak-hak khusus untuk pemanfaatan laut, kalaupun nanti wilayah Laut Sawu, daerah perburuan mereka, ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Jika kita menoleh sejenak, sebetulnya sudah sejak tahun 2006, dilakukan sosialisasi mengenai KKPL (Kawasan Konservasi Perairan Laut) Sawu di Lamalera, Lamakera,Watohari dan Lamawai. Selanjutnya sudah beberapa kali dilakukan kegiatan dalam upaya penetapan KKPL Sawu.

Kita tinggalkan faktor 'x' jelang pemilu yang tinggal menghitung hari untuk menjawab pertanyaan, mengapa baru kali ini saudara-saudara saya di Lamalera justru ribut soal konservasi?

Sebab yang paling penting bagi saudara-saudara saya, keluarga saya di Lamalera adalah mereka tidak dilarang menangkap ikan paus. Kepada mereka akan ada hak-hak khusus (eksklusif) untuk tetap melaut dengan nyaman tanpa ancaman hukuman.

Untuk itu sebuah PR bagi DKP RI, DKP NTT, Tim Pengkajian dan Penetapan KKL Sawu, Solor, Lembata, Alor (Solar), WWF dan semua pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi secara jujur, terbuka dan yang paling penting adalah mengkomodir kearifan lokal masyarakat Lamalera. Dan bagi nelayan Lamalera, tak perlu di-PR-pun, mereka akan tetap menjaga tradisi leluhur mereka. Saya percaya itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar