Sabtu, 08 Mei 2010

PROPOSAL Analisa Pertumbuhan dan Penyakit Ice-ice Pada Kappaphycus alvarezii (Doty-Doty) Yang Dibudidayakan Pada Lokasi Yang Berbeda di Perairan Pant

PROPOSAL

Analisa Pertumbuhan dan Penyakit Ice-ice Pada Kappaphycus alvarezii (Doty-Doty) Yang Dibudidayakan Pada Lokasi Yang Berbeda di Perairan Pantai

Desa Tesa Bela Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao

OLEH

Y0HANES REINNAMAH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Memasuki era pembangunan jangka panjang (PJP) II, setiap sub-sektor diharapkan dapat meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kontribusinya bagi kesinambungan pembangunan ekonomi Nasional. Dari sekian banyak potensi pembangunan, sumberdaya wilayah pesisir memiliki peran yang cukup penting bagi pembangunan Nasional. Hal ini di dasari oleh fakta fisik bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau 70 persen dari total teritorial indonesia. (Dahuri et al. 2001)

Sepanjang garis pantai dan bentangan perairan laut ini terkandung kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah seperti ikan, rumput laut, mangrove, terumbuh karang dan lain sebagainya. Dalam mengoptimalkan peranan sektor perikanan ini, pemerintah sudah berupaya mendorong masyarakat seluas-luasnya untuk melakukan kegiatan pembagunan dan pengembangan sub-sektor perikanan yang diyakini akan mampu meningkatkan dan menjadi andalan perekonomian nasional, khususnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. (Amin et al, 2002)

Rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan yang akhir-akhir ini banyak dibudidayakan oleh masyarakat diantaranya adalah Eucheuma Cottonii (Kappaphycus alvarezii). (Fibrianto, 2007)

Rumput laut ini juga merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang dapat di andalkan, mudah dibudidayakan dengan infestasi yang relatif kecil dan mempunyai prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan ekonomi masyarakat pantai. (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2005) rumput laut juga merupakan sumberdaya yang berbasis keunggulan untuk menggerakan ekonomi dengan dukungan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Rumput laut ini tergolong tanaman tingkat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati, tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Rumput laut tumbuh dialam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu dan benda keras lainnya (Anggadiredja dkk, 2006).

Kunci keberhasilan usaha budidaya rumput laut adalah pengelolaan usahanya, karena relatif sulitnya perlakuan untuk memaksimalkan pertumbuhan rumput laut. Dalam satuan unit usaha budidaya diperlukan perhatian khusus tentang penanaman yang diawali dengan pengikatan bibit dan penentuan jarak tanamnya, serta pemeliharaan rutin dalam pengelolaan usaha budidaya rumput laut. Semakin berkembangnya usaha budidaya rumput laut di indonesia segala permasalahan dan hambatan yang mungkin terjadi terutama terhadap kemungkinan serangan hama dan penyakit pada tanaman rumput laut juga perlu di perhatikan.

Jenis-jenis rumput laut yang bernilai ekonomis penting dan sudah sejak dulu diperdagangkan yaitu Eucheuma sp, Hypnea sp,Gigartina sp, Chondrus sp sebagai penghasil karaginan; Gracilaria sp, dan Gelidium sp sebagai penghasil agar-agar serta Sargasum sp, Turbinaria sp sebagai penghasil alginat (Anggadiredja dkk, 2006).

Komoditi ini sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat lokal di NTT, salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan oleh masyarakat Rote Timur adalah Eucheuma cotonii (Kappaphycus alvarezii) jenis ini banyak dibudidayakan karena teknologinya mudah, harga relatif murah serta metode pasca panen tidak terlalu sulit. Selain sebagai bahan industri rumput laut jenis ini juga dapat diolah menjadi bahan makanan yang dapat dikonsumsi secara langsung baik dalam keadaan mentah ataupun dimasak sebagai sayur. (Sambut, 2004)

Usaha budidaya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya faktor internal, tetapi juga faktor eksternal yang secara fisik lingkungan budidaya juga memberi kontribusi terhadap keberhasilan kegiatan budidaya. Oleh karena itu, sebelum melakukan suatu usaha budidaya pertimbangan yang matang sebelum menetapkan lokasi yang akan dipilih mutlak diperlukan demi kesinambungan usaha bididaya. Dengan demikian maka salah satu hal yang di teliti oleh peneliti adalah lokasi yang berbeda yakni pesisir, tengah perairan dan berdekatan dengan mangrove mengingat suplai unsur hara yang di terima oleh masing-masing lokasi berbeda sehingga laju pertumbuhan rumput laut juga berbeda antara lokasi yang satu dengan yang lainnya. Selain itu salinitas di pesisir pantai dengan daerah yang lebih dalam juga turut mempengaruhi tingkat pertumbuhan rumput laut.

Beberapa kegiatan budidaya baik skala kecil maupun besar, tidak berhasil akibat pemilihan lokasi budidaya yang kurang tepat. Selain dari pada itu, kendala yang selalu dihadapi oleh petani rumput laut saat ini adalah adanya penyakit ice-ice yang menyebabkan batang/thallus utama memutih dan akhirnya membusuk sehingga pertumbuhan rumput laut yang dibudidaya menjadi terhambat. Berdasarkan alasan inilah penulis ingin melakukan penelitian tentang “Analisa Pertumbuhan Dan Penyakit Ice-Ice Pada Kappaphycus alvarezi Yang Dibudidayakan Pada Lokasi Yang Berbeda Di Perairan Pantai Desa Tesabela Rote Timur Kabupaten Rote Ndao

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana tingkat pertumbuhan rumput laut pada lokasi yang berbeda termasuk rumput laut yang terkena penyakit dan tidak terkena penyakit di perairan pantai Desa Tesabela Rote Timur

2. Bagaimana hubungan faktor fisik dan kimia perairan terhadap pertumbuhan dan penyakit pada rumput laut

3. Bagaimana intensitas penyakit ice-ice pada lokasi yang berbeda

Dalam penelitian ini informasi yang ingin diperoleh dibatasi pada pertumbuhan rumput laut yang terserang penyakit dan yang tidak.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk ;

1 Mengetahui pertumbuhan rumput laut pada lokasi yang berbeda termasuk rumput laut yang terkena penyakit dan tidak terkena penyakit

2 Menganalisis kondisi faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut

3 Untuk mengetahui intensitas penyakit ice-ice pada lokasi yang berbeda

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Bioekologi Rumput Laut

Klasifikasi Eucheuma cotonii menurut Meiyana et. al. (2001), adalah sebagai berikut:

Phylum : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Sub kelas: florideophycidae

Ordo : Gigartinales

Family : Soliericeae

Genus : Eucheuma

Spesies : Eucheuma cotonii /Cappaphycus alvarezii

Rumput laut adalah ganggang berukuran besar atau makro algae yang merupakan tanaman tingkat rendah dan termasuk kedalam divisio thallophyta. Morfologi tanaman ini hanya terdiri dari thallus, tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Fungsi ketiga bagian ini digantikan oleh thallus (Meiyana et. al. 2001)

Ciri-ciri cappaphycus alvarezii yaitu bentuk thallus silindris, permukaan licin; cartilageneus (menyerupai tulang rawan/muda) serta berwarna hijau terang, cokelat kemerahan. Percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan) dan duri lunak/tumpul. Percabangan bersifat alternatus (berseling) tidak teratur serta bersifat dichotomus (Percabangan dua-dua), atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga ).

Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor oseanografi (fisika, kimia, dan pergerakan dan dinamika air laut) serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumpul laut mengambil nutrien dari perairan di sekitarnya secara difusi melalui dinding thallus. (Anggadiredja dkk, 2006).

Selain memerlukan tempat menempel rumput laut juga memerlukan sinar matahari untuk dapat melangsungkan fotosintesis. Banyaknya sinar matahari yang masuk dalam air berhubungan erat dengan kecerahan air laut. Kecerahan air kira-kira sampai batas 5 meter atau batas sinar matahari bisa menembusi air laut (Indriani dan sumiarsih, 1991)

Fotosintesis berlangsung tidak hanya dibantu dengan sinar matahari saja, tetapi juga zat hara sebagai bahan makanannya. Penyerapan zat hara dilakukan melalui seluruh bagian tanaman. Gerakan air, selain berfungsi untuk menyuplai zat hara, juga membantu memudahkan rumput laut menyerap zat hara, membersihkan kotoran yang ada dan melangsungkan pertukaran CO2 dengan O2 sehingga kebutuhan oksigen dapat terpenuhi (Indriani dan Sumiarsih, 1991)

2.2 Pertumbuhan dan Faktor-faktor Lingkungan yang mempengaruhinya

Pertumbuhan (growth) dapat diartikan sebagai perubahan secara kuantitatif selama siklus hidup tanaman tersebut yang bersifat terus-menerus. Bertambah besar ataupun bertambahnya berat tanaman, ukuran atau bagian tanaman akibat adanya penambahan unsur-unsur struktural yang baru. Peningkatan ukuran tanaman yang tidak akan kembali sebagai akibat pembelahan dan pembesaran sel, misalnya : dalam ukuran sel, jaringan dan organ. (Maulana, 2009)

Sugiarto et. al, (1987) dalam Amin et. al, (2005), menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut berkisar antara 2%-3% per hari. Ini tergantung dari suplai sinar matahari, iklim, dan kondisi geogravis yang ada pada suatu perairan yang di ukur dengan pertumbuhan somatik yakni pertumbuhan yang diukur berdasarkan pertambahan berat dan panjang thallus rumput laut.

Pada umumnya Kappaphycus alvarezii terdapat di daerah tertentu dengan persyaratan khusus, kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau daerah yang selalu terendam air (sub tidal) dan melekat pada substrat di dasar perairan berupa karang mati, karang batu atau cangkang moluska. Umumnya mereka tumbuh dengan baik di daerah pantai berbatu (reef), karena di tempat inilah beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya faktor kedalaman perairan, cahaya, substrat dan gerakan air (Aslan, 1995).

2.2.1 Suhu

Rumput laut memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis, karena itu rumput laut hanya dapat tumbuh pada perairan dengan kedalaman tertentu di mana sinar matahari dapat sampai ke perairan.

Suhu air di lapisan permukaan akan menjadi lebih panas dari yang ada di bawahnya karena penyinaran matahari, sehingga air permukaan suhunya lebih tinggi dan berat jenisnya lebih ringan dibandingkan lapisan air bawahnya. Air di lapisan permukaan disebut epilimnion dan di bawahnya di sebut hipolimniom. Di antara ke dua lapisa ini ada lapisan yang di sebut lapisan thermoklin atau metalimnion yang di tandai dengan penurunan suhu yang sangat tajam. (Subandar dkk, 2005)

Temperatur air laut yang baik untuk budidaya Cappaphycus alvarezii. berkisar antara 27-30o C. Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut berwarna pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat (Ditjenkanbud, 2003 dalam Fibrianto, 2007). Hal ini diperkuat oleh Aslan (1995) yang mengatakan bahwa perkembangan beberapa jenis alga tergantung pada kondisi suhu dan intensitas cahaya. Menurutnya suhu yang baik untuk pertumbuhan cappaphycus alvarezii berkisar antara 25 – 300C. Akan tetapi Euceuma sp mempunyai toleransi terhadap suhu 25-300c dengan fluktuasi harian 40c

Perubahan suhu yang drastis dari suhu optimum ke suhu yang rendah atau sebaliknya dapat menyebabkan stress dan kerusakan jaringan pada rumput laut yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya penyakit ice-ice. Akibat lain yang timbul karena perubahan suhu adalah penurunan pertumbuhan. Pada perairan yang dangkal, perbedaan temperatur antara siang dan malam hari sering terlalu besar sehingga dapat mengganggu pertumbuhan alga. Semakin dalam perairan maka suhu semakin rendah atau sebaliknya permukaan perairan memiliki suhu yang sangat tinggi. Hal tersebut berhubungan erat dengan intensitas penyinaran cahaya matahari yang akan masuk ke kolom air.

2.2.2 Salinitas

Rumput laut (Cappahycus alvarezii) adalah rumput laut yang bersifat stenohaline. Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Oleh karena itu salinitas merupakan salah satu faktor yang perlu untuk diperhatikan dalam usala budidaya rumput laut. Salinitas merupakan salahsatu parameter kualitas air yang sangat berpengaruh pada organisme dan dan tumbuhan yang hidup di perairan laut Febrianto (2007) mengatakan bahwa rumput laut adalah alga laut yang relatif tidak tahan terhadap perbedaan salinitas yang berada di atas 30 ‰. Salinitas yang baik berkisar antara 28–32 ‰ dengan nilai optimum 30 ‰. Untuk memperoleh perairan dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai. Daerah ini umumnya memiliki salinitas yang relatif rendah dibandingkan dengan perairan pantai yang tidak memiliki suplai air tawar. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar menyebabkan pertumbuhan Kappaphycus alvarezii sp menjadi tidak normal. Salinitas merupakan salahsatu parameter kualitas air yang cukup berpengaruh pada organisme dan tumbuhan yang hidup di perairan laut.

2.2.3 Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang di tentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat di pengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi, dan ketelitian orang yang melakukan pengukuran. (Effendi, 2003)

Nilai kecerahan suatu perairan berhubungan dengan kekuatan penetrasi (intensitas) cahaya matahari ke dalam suatu perairan tersebut. Penetrasi cahaya matahari di pengaruhi oleh partikel-partikel yang terdapat dalam air baik yang tersuspensi maupun terlarut. Pengaruh tersebut dapat mengurangi tebalnya lapisan fotosintetik di suatu perairan. (Soeyasa dkk, 2001)

Lokasi budidaya haruslah jernih sepanjang tahunnya, terhindar dari pengaruh sedimentasi atau intrusi air sungai. Tingkat kejernihan air diukur dengan penampakan kecerahan yang mencapai kedalaman 5 meter atau lebih. Meskipun demikian kondisi yang ideal dengan angka transparansi minimal sekitar 1,5 m. (Ambas, 2006) sedangkan Ditjenkanbud, (2005) bahwa kecerahan air yang baik untuk pertumbuhan rumput laut adalah 1-5 m.


2.2.4 Kecepatan Arus

Menurut Ditdejenkanbud (2006), rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Pertukaran air yang teratur sangat menguntungkan bagi alga, karena membantu mensuplai nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut. Suplai zat hara ini dibantu oleh gerakan ombak dan arus yang memudahkan rumput laut untuk menyerap zat hara, membersihkan kotoran dan melangsungkan pertukaran CO2 dengan O2 (Indriani dan Sumiarsih, 1991).

Kecepatan arus yang dianggap cukup untuk budidaya rumput laut berkisar antara 20-40 cm/detik. Untuk pertumbuhannya, kappaphycus alvarezii sp. membutuhkan gerakan air yang konstan sepanjang tahun dengan kekuatan sedang. Suatu perairan yang cukup gerakan air ditandai dengan terdapatnya karang lunak (soft koral) dan kondisi daun lamun (Thalasia, Enhalus) yang bebas dari debu air (Silt) (Indriani dan Sumiarsih, 2003 dalam Fibrianto, 2007). Sedangkan gerakan air yang bergelombang (ombak), ombaknya harus tidak ebih dari 30 cm. Bila arus yang lebih cepat maupun gelombang yang terlalu tinggi, dapat memungkinkan terjadi kerusakan tanaman, seperti patah, robek, ataupun terlepas dari substratnya. Selain itu, penyerapan zat hara akan terhambat karena belum sempat diserap, tetapi telah dibawa pergi oleh air.

Pergerakan air akan membantu menyebarkan nutrien dalam air dan menyebapkan pengadukan air yang dapat mencegah kenaikan suhu yang tinggi. Bila gerakan air kurang maka endapan-endapan akan menutupi permukaan thalus tanaman sehingga menyebapkan kurangnya intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman untuk melakukan fotosintesis dan menyebapkan adanya kompetisi dalam menyerap makanan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi rendah.

2.2.5 Nutrien

Nutrien merupakan unsur yang sangat penting bagi alga karena kekurangan salah satu unsur nutrien dapat mengakibatkan alga tidak dapat tumbuh dengan baik. Unsur-unsur nutrien yang sangat penting bagi pertumbuhan alga adalah Nitrat dan Fosfat (Gumolili, 1999 dalam Supit, 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa nitrat dianggap sebagai nutrien pembatas untuk pertumbuhan alga apabila jumlah kandungannya lebih sedikit dibanding dengan kandungan fosfat dalam perairan. Nitrat merupakan sumber nitrogen yang terbaik untuk pertumbuhan beberapa jenis alga laut. Nitrat tersebut diserap oleh alga laut kemudian diolah menjadi protein dan selanjutnya menjadi sumber makanan bagi organisme perairan. Kekurangan nitrat ditandai dengan pemudaran warna pada thallus alga merah dari warna hijau menjadi agak keputih-putihan.

Selain Nitrat, Fosfat juga merupakan faktor nutrien utama bagi kebutuhan alga. Kekurangan unsur P dalam perairan dapat menyebabkan rendahnya produktivitas primer suatu perairan. Unsur P dalam perairan tidak dapat ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, tetapi dalam bentuk anorganik terlarut (Gumolili, 1999 dalam Supit, 2005). Alga juga menyimpan kandungan P yang diserapnya sebagai salah satu cara mempertahankan pertumbuhannya ketika tingkat konsentrasi nutrien rendah di perairan.

2.3 Metode Budidaya

Pemilihan metode penanaman rumput laut terkait erat dengan kondisi perairan dan kondisi skala usaha yang akan diterapkaan. Metode Long line adalah metode budidaya rumput laut Kappahycus alvarezii sp dengan menggunakan tali panjang yang dibentangkan. Metode budidaya ini banyak diminati oleh masyarakat pembudidaya rumput laut di indonesia. Ismail dkk, (1985) dalam Winarno (1990) mengatakan bahwa keberhasilan budidaya rumput laut sangat tergantung pada teknologi atau metode penanamannya. Metode yang dipilih hendaknya dapat memberikan pertumbuhan yang menguntungkan, mudah pelaksanaannya dengan bahan bangunan yang murah dan mudah di dapat.

Ada tiga metode yang dapat digunakan dalam budidaya rumput laut, yaitu metode dasar, lepas dasar, dan metode apung.

1. Metode Dasar

Cara budidaya rumput laut yang dianggap paling sederhana adalah metode dasar. Pada metode dasar ini, budidaya rumput laut dilakukan dengan jalan menebarkan potongan-potongan rumput laut yang akan ditanam pada dasar perairan yang tenang (S. Sadhori, 1995). Metode dasar terbagi atas dua yakni metode sebaran (broadcast method) dan metode budidaya dasar laut (bottom farm method).

2. Metode Lepas Dasar

Pada metode ini bibit rumput laut diikatkan pada tali atau jaring yang direntangkan mendatar di atas dasar perairan dengan jarak dari dasar perairan sekitar 30 cm (Sadhori, 1995). Metode ini terdiri atas tiga bagian yaitu metode tali tunggal lepas dasar (Off-bottom monoline method), metode jaring lepas dasar (Off-bottom-net method), dan metode jaring lepas dasar berbentuk tabung (Off-bottom-tabular net).

3. Metode Apung

Teknik budidaya rumput laut dengan menggunakan metode apung pada prinsipnya hampir sama dengan metode lepas dasar. Pada metode apung ini rumput laut diikatkan pada rakit sehingga selalu mengapung (Sadhori, 1995). Rakit yang digunakan terdiri dari bambu atau kayu yang dilengkapi dengan pelampung plastik sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Metode ini terbagi dua yaitu: metode tali tunggal apung (floating-monoline method) dan metode jaring apung (floating net method).

2.3.1 Pemilihan Lokasi Budidaya

Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam budidaya rumput laut meliputi aspek umum dan aspek teknis. Yang tercakup dalam aspek umum mengenai pemilihan lokasi, pengadaan dan pemilihan bibit, pemeliharaan dan pemanenan, hama dan penyakit, serta penanganan lepas panen. Sedangkan aspek teknis meliputi cara atau metode budidaya. Pemilihan lokasi merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut. Kondisi fisik kimia perairan menjadi penentu keberhasilan suatu usaha budidaya disamping metode yang digunakan. Lokasi budidaya yang ditentukan harus berdasarkan pertimbangan secara ekologis, teknisi, kesehatan, sosial ekonomi, serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Indriani dan Sumiarsih, 1991)


Syarat-syarat lokasi budidaya rumput laut yang baik menurut Puja dkk (2001) dalam Supit (2005).

Perairan harus cukup tenang, terlindungi dari pengaruh angin dan gelombang yang kuat. Sehingga daerah teluk sangat cocok untuk usaha ini. Lokasi harus terlindung untuk menghindari kerusakan fisik rumput laut dari terpaan angin dan gelombang sehingga daerah yang cocok untuk budidaya ini adalah daerah yang memiliki pulau didepan area budidaya.

Letak lokasi jauh dari pengaruh daratan, terdapat karang yang berfungsi sebagai pelindung dari kerusakan akibat ombak yang kuat

Lingkungan tidak mengalami pencemaran.

Lokasi pada wktu surut masih digenangi air sedalam 30 cm - 60 cm

kenaikan temperatur yang tinggi mengakibatkan thalus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan yang menjadikan rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik adalah antara 25-300. dengan fluktuasi harian maksimum 40c

Salinitas 28-39 ‰

2.3.2 Pemilihan Bibit

Keberhasilan suatu usaha budidaya sangat tergantung pada bibit yang di sediakan. Bibit rumput laut dapat berasal dari stok alam atau dari hasil budidaya. Keuntungan bila bibit berasal dari alam adalah di samping mudah pengadaannya juga cocok dengan persyaratan pertumbuhan secara alami. Sedangkan kerugiannya bibit sering tercampur dengan jenis rumput laut lain. Bibit yang berasal dari hasil budidaya lebih murni karena hanya terdiri dari satu jenis rumput laut, (Indriani dan Sumiarsih, 1991).

Menurut Setiadi dan Budiharjo (2000), pemilihan bibit dalam budidaya rumput laut adalah sebagai berikut:

a) Bibit berupa stek dipilih dari tanaman yang segar, dapat diambil dari tanaman yang tumbuh secara lami ataupun dari tanaman bekas budidaya. Selain itu, bibit masih baru dan masih muda.

b) Bibit unggul mempunyai ciri bercabang banyak (rimbun), elastis dan bebas dari penyakit

c) Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi usaha budidaya dalam jumlah yang sesuai dengan luas area budidaya

d) Sewaktu disimpan harus diperhatikan dengan seksama, hindari dari kekeringan

Anggadiredja dkk ( 2006 ) mengatakan bahwa kriteria bibit rumput laut yang baik adalah thallus muda dan bercabang banyak, sehat dan tidak terdapat bercak, luka atau terkelupas, terlihat segar dan berwarna cerah yaitu cokelat cerah atau hijau cerah, bibit harus seragam dan tidak boleh bercampur dengan jenis lain, berat bibit awal sekitar 100 gr per ikatan atau rumpun.

2.3.3 Penanaman

Penanaman rumput laut adalah suatu kegiatan dimasukkan bibit rumput laut ke dalam air di lokasi budidaya dengan menggunakan metode dasar, lepas dasar, rakit apung. Penanaman dilakukan pada saat bibit masih segar, yaitu segera setelah pengikatan bibit pada tali ris selesai (Indriani dan Sumiarsih, 1991). Pada tahap penanaman diperlukan perhatian dalam beberapa hal antara lain:

§ Pengikatan bibit

Kegiatan penanaman diawali dengan mengikat rumput laut (bibit) ke tali ris yang telah dilengkapi dengan tali pengikat rumput laut (Barbara, 2005). Pada saat pengikatan bibit dilakukan maka pengaturan jarak tanam antar tali yang satu dengan yang lainnya perlu diperhatikan. Semakin jauh jarak tanam akan semakin luas lalu lintas pergerakan air dan juga akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thalus serta membawa unsur hara sehingga pertumbuhan rumput laut meningkat (afrianto dan leviawati, 1993 dalam meiyana et. al. 2001)

§ Letak tanaman

Dalam menempatkan metode penanaman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan yang paling dominan antara lain arah arus dilokasi budidaya. Penanaman harus searah dengan arah arus agar semua tanaman mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh unsur hara. Serta, jalur lalulintas umum dalam pelayaran laut.

Seperti halnya tanaman darat, penanaman bibit rumput laut harus memperhatikan jarak tanam. Jarak tanam antara bibit berkisar antara 20-25 cm dan diusahakan bibit rumput laut tidak menyentuh dasar perairan karena hal tersebut dapat mengakibatkan tanaman mudah diserang predator (Afrianto dan Liviawati, 1993 dalam Supit, 2005)

2.3.4 Penanaman dengan Metode Long line

Metode long line dibuat dari tali panjang yang dibentangkan, dengan panjang tali 50-100 m yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, Setiap jarak 25 m diberi pelampung utama terbuat dari drum plastik atau styrofoam. Sedangkan untuk setiap jarak 5 meter diberi pelampung berupa potongan styrofoam serta pelampung pembantu yang berfungsi untuk menggerakkan tanaman setiap saat. Pelampung dapat terbuat dari styrofoam, karet sandal dan botol aqua (Runtuboy et. al. 2001 dalam Kurniayu, 2007).

Keunggulan metode long line dalam usaha budidaya rumput laut dibandingkan dengan metode lainnya adalah metode ini lebih tahan lama dan lebih murah (Ismail dan Endang, 2002 dalam Kurniayu, 2007).

2.3.5 Penyakit

Serangan penyakit (ice-ice) merupakan salahsatu permasalahan dan hambatanyang dihadapi dalam budidaya rumput laut. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus karena semakin berkembangnya usaha budidaya rumput laut di indonesia. Selain itu, serangan penyakit apabila dibiarkan dapat mengakibatkan menurunnnya produksi.

Penyakit pada rumput laut merupakan suatu gejala gangguan fungsi atau terjadinya perubahan fisiologis pada tanaman. Pada umumnya, hal ini terjadi akibat adanya perubahan faktor lingkungan yang ekstrem, seperti perubahan suhu, salinitas, pH dan tingkat kecerahan air. Penyakit yang sangat umum terjadi pada rumput laut yaitu Ice-ice (Anggadiredja dkk, 2006).

Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menyerang tanaman rumput laut jenis kapphaphycus alvarezii spp. penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1974 di Pilipina. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik atau bercak-bercak pada bagian thallus yang lama kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya thallus tersebut terputus. Penyakit ini timbul karena adanya mikroba yang menyerang tanaman rumput laut yang lemah. Gejala yang terlihat adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang menjadi putih, kemudian thallus menjadi putih dan membusuk (Ditjenkanbud, 2005 dalam Febrianto 2007).

2.3.6 Pemeliharaan

Memelihara rumput laut berarti memantau dan merawat terus menerus konstruksi budidaya dan tanamannya. Pemeliharaan dilakukan pada saat ombak besar maupun saat laut tenang. Kerusakan patok, jangkar, tali ris dan tali ris utama disebabkan oleh ombak yang besar.

Kotoran sering melekat pada tanaman. Kotoran yang melekat dapat mengganggu proses metabolisme sehingga laju pertumbuhan menurun. Beberapa tumbuhan penempel seperti Ulva, Hypnea, Chaetomorpha, Enteromorpha sering membelit tanaman dan konstruksi budidaya sehingga dapat menimbulkan kerusakan (Indriani dan Sumiarsih, 1991).

Menurut Setiadi dan Budihardjo (2000), hal-hal perlu diperhatikan selama pemeliharaan rumput laut yaitu, pembersihan tanaman dari tumbuhan penempel atau tanaman lainnya. Tanaman yang hilang atau rusak karena terserang hama atau arus air yang kuat di ganti dengan tanaman yang baru. Selain itu dilakukan pula monitoring kualitas air, monitoring pertumbuhan dan perbaikan sarana budidaya.

2.3.7 Panen

Dua hal penting yang harus diperhatikan pada saat pemanenan rumput laut adalah umur dan cuaca. Hal pertama yaitu umur rumput laut, umur rumput laut akan sangat menentukan kualitas dari rumput laut tersebut. Jika rumput laut tersebut akan digunakan sebagai bibit maka pemanenan dilakukan setelah rumput laut berumur setelah rumput laut berumur 25-35 hari karena pada saat itu rumput laut belum terlalu tua. Sebaliknya jika rumput laut tersebut akan dikeringkan maka sebaiknya pemanenan dilakukan pada saat rumput laut tersebut berumur 1,5 bulan atau lebih karena pada saat umur tersebut kandungan keraginannya cukup tinggi (Runtuhboy, et al, 2001).

Hal kedua yang sangat penting pada saat panen adalah cuaca. Jika pemanen dan penjemuran dilakukan pada cuaca cerah maka mutu dari rumput laut tersebut dapat terjamin. Sebaliknya jika pemanenan dan penjemuran dilakukan pada cuaca mendungan maka akan terjadi proses fermentasi pada rumput laut tersebut yang menyebapkan mutu rumput laut tersebut tidak terjamin (Runtuhboy, et al, 2001)

Tanaman rumput laut dapat dipanen setelah mencapai umur 6 – 8 minggu setelah penanaman dengan berat akhir sekitar 600 gram. Cara pemanenan rumput laut adalah dengan mengangkat seluruh tanaman ke darat, kemudian tali rafia pengikat rumput laut dibuka. Panen seperti itu dilakukan bila air laut pasang, tetapi bila air laut sedang surut pemanenan dapat langsung di areal tanam. Caranya sama, yaitu dengan memotong tali rafia pengikat rumput laut. Selanjutnya dipisahkan antara tanaman yang dipanen dan potongan tali raffia (Indriani dan Sumiarsih, 1991)


BAB III

METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama 2 (dua) bulan mulai dari november sampai dengan januari 2010 di perairan pantai Rote Timur

3.2. Materi Penelitian

Adapun materi penelitian meliputi alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini lapangan antara lain:

Tabel 1. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan Bahan

Satuan

Kegunaan

Alat :

Tali nylon

Tali rafia

Pelampung utama

Pelampung tambahan

Pemberat

Timbangan

Plastik sampel besar

Kertas label

Topdal

pH meter

Meter rol

Termometer

Refraktometer

Bahan :

Bibit rumput laut

m

m

Kg

Kg

-

-

m/det

-

m

oC

O/OO

kg

Tali utama/main line

Tali ikat bibit pada tali utama

Pelampung tanda

Menjaga ikatan rumput laut agar tetap terapung

Tempat mengikat tali utama

Menimbang berat awal sampel

Tempat menaruh sampel

Untuk penomoran sampel

Mengukur kecepatan arus

Mengukur pH air

Mengukur panjang tali utama

Mengukur suhu

Mengukur salinitas

Bahan penelitian

3.3. Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan dalam 3 tahap yakni tahap persiapan, tahap kedua penanaman rumput laut, tahap ketiga meliputi pengukuran data pertumbuhan Eucheuma cotonii, pengukuran parameter fisik kimia perairan

3.2.1 Persiapan

Pada tahap ini dilakukan beberapa hal yakni survei lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, sortasi bibit rumput laut yang sehat dengan ukuran yang seragam

3.3.2. Penanaman Rumput Laut

Rumput laut dengan berat awal 100 gram diikat dengan tali rafia untuk selanjutnya diikat pada tali nylon sebagai tali utama. Panjang tali utama adalah 60 meter yang terbagi menjadi 5 tali (@ 12 meter), jarak antar bibit 40 cm. Jarak antara tali adalah 1m. Jumlah bibit yang ditebar pada masing-masing tali 30 rumpun atau ikat. Kedua ujung tali utama diikat masing-masing dengan seutas tali yang dihubungkan dengan pemberat. Dibiarkan selama dua bulan (8 minggu pengamatan).

3.4. Pengambilan Sampel

Pada tahap ini selain dilakukan pengukuran terhadap suhu, salinitas, kecepatan arus dan kecerahan perairan lokasi budidaya, juga diambil sampel rumput laut untuk memperoleh data pertambahan berat (pertumbuhan) setiap satu minggu sekali

3.5. Analisa Data

3.5.1. Pertumbuhan

Untuk menghitung pertumbuhan kappaphycuz alvarezii dengan menggunakan persamaan menurut Amin dkk (2005) sebagai berikut :

G = (Wt/Wo )1/t x 100%

Dimana: Wt = Berat tanaman sesudah t hari;

Wo = Berat tanaman mula-mula;

t = Lama penanaman/ hari

sedangkan untuk menghitung intensitas infeksi penyakit digunakan formula manurut Tisera (2009) sebagai berikut:


DAFTAR PUSTAKA

Amin et al. 2005. Kajian Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonii) Dengan Sistem Dan Musim Tanam Yang Berbeda Di Kabupaten Bangkep Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.

Anggadiredja J. T., Ahmad Zatnika, Heri Purwanto dan Sri Istini. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Aslan, 1995. Budidaya Rumput Laut. Peterbit Kanisius. Yogyakarta

........., 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Dahuri et al. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta

Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2005. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta.

Effendi, I. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Fibrianto. 2007. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Dengan Metode Rakit Apung di Kampung Manggonswan, Distrik Kepulauan Aruri, Kabupaten Supiori-Papua. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta

.............. 2007. Makalah Budidaya Rumput Laut Dengan Manggunakan Metode Rakit Apung Di Desa Manggonswan. papua

Indriani dan Sumiarsih. 1991. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta

Kurniayu. 2007. Pengelolaan Usaha Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) dengan Metode Long line di Perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta

Maulana. 2008. Pertumbuhan Tanaman Berumur pendek. Departemen Budidaya pertanian Sumatra Utara. Medan

Puslitbangkan. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perikanan. Jakarta

Sadhoris. 1995. Budidaya Rumput Laut. Balai Pustaka. Jakarta

Sambut. P. 2004. Sumberdaya Pesisir Dan Laut NTT. PT Rapih Budi Mulia. Jakarta 2004

Subandar, A., Lukijanto, A., Sulaiman. 2005. Penentuan Daya Dukung Lingkungan Budidaya Keramba Jaring Apung Program Riset Unggulan Strategis Nasional Kelautan. Jakarta.

Supit. R. L. 2005. Analisis Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Alga Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty yang dibudidayakan dengan Metode Tali Tunggal Lepas Dasar (off-bottom monoline method) di Perairan Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. Fakultas Perikanan. Kupang.

Supramono dan Sugiarto, 1993. Statistika. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta

Winarno, F. G. 1990.Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar