Sabtu, 08 Mei 2010

PENGARUH FAKTOR OCEANOGRAVI TERHADAP PERTUMBUHAN MANGROVE (Rhizophora apiculata sp) DENGAN MENGGUNAKAN METODE BUIS BAMBU DI PANTAI OESAPA KECAMATAN K


PENGARUH FAKTOR OCEANOGRAVI TERHADAP PERTUMBUHAN MANGROVE (Rhizophora apiculata sp) DENGAN MENGGUNAKAN METODE BUIS BAMBU DI PANTAI OESAPA KECAMATAN KELAPA LIMA KOTA KUPANG

oleh yohanes reinnamah

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Suryanegara, 2004).

Wilayah pesisir tersebut merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah, perluasan permukiman serta intensifikasi pertanian (Supriharyono, 2000)

Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis, dan social yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali hutan mangrove yang rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi kesejahteraan manusia dan mendukung pembangunan wilayah pesisir. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang arti penting keberadaan mangrove dalam mendukung kehidupan perekonomian masyarakat pesisir perlu terus digalakan, sehingga upaya rehabilitasi dan upaya pengelolaan mangrove dapat menjadi kunci keberhasilan pelestarian mangrove (Santoso, 2000)

Alih fungsi mangrove maka akan merusak siklus rantai makanan bagi seluruh biota ekosositem mangrove yang juga berkaitan dengan biota yang di depannya yakni padang lamun dan terumbu karang, karena anda interaksi yang sangat kuat dari ketiga ekosistem tersebut (Arief, 2009). Apabila fungsi-fungsi hutan mangrove akibat alih fungsi maka otomatis akan akan mengganggu bahkan merusak kedua ekosisitem lainnya. Contoh sebagai akibat detritus tidak tersuplai maka persediaan sumber makanan bagi biota. Ketiga ekosisitem tersebut mempunyai keterkaitan ekologis (hubungan fungsional), bak dalam nutrisi terlarut, partikel organic, maupun migrasi satwa Oleh karena itu apabila salah satu ekosistem itu terganggu, maka ekosistem lain ikut terganggu pula keseimbangannya (Indriyanto, 2006). Untuk perlu kita diperatahankan agar tercupta sebentuk sinergi keseimbangan lingkungan , sehingga pelayanan jasa dan produksi yang diberikan dapat dipergunakan secara berkelanjutan. Menurut Bengen (2004) dalam Santoso, 2004), bahwa dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dll), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove, semakin meningkat pula. Supriharyono. (2000)

Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove itu sendiri baik secara langsung (misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun tak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan ). Oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai PENGARUH FAKTOR OCEANOGRAVI TERHADAP PERTUMBUHAN MANGROVE (Rhizophora apiculata sp) DENGAN MENGGUNAKAN METODE BUIS BAMBU DI PANTAI OESAPA KECAMATAN KELAPA LIMA KOTA KUPANG” yang merupakan salah satu upaya reboisasi untuk mengembalikan fungsi hutan mnagrove secara alami sehingga dapat berfungsi secara ekologis, sosial, ekonomi dan ilmiah.


1.2. Perumusan Masalah

Adapun bentuk permasalahan yang diambil untuk menjadi bahan kajian sebagai salahsatu dasar permasalahan utama pada pertumbuhan mangrove adalah:

1. Bagaimana tingkat pertumbuhan mangrove dengan menggunakan metode gubuk bambu.

2. Bagaimana kondisi ekologis yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan mangrove dengan menggunakan metode gubuk bambu.

3. Faktor-faktor ekologi yang terdapat di area penelitian yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove.

4. Bagaimana pengaruh faktor oceanogtavi terhadap tingkat pertumbuhan mangrove (Rhysophora apiculata sp)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui laju tingkat pertumbuhan mangrove (Rhizophora apiculata sp) yang di tanam di pesisir pantai Oesapa dengan menggunakan metode gubuk bambu.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan mangrove.

3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor oceanogravi yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan mangrove (Rhysophora apiculata sp)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerusakan Mangrove

Kepala Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur (NTT) Joseph Diaz mengatakan, sekitar 9.989 hektar (2,25 persen) hutan bakau di provinsi itu rusak dari 40.695 hektar yang ada. "Dari 40.695 hektar luas hutan mangrove di NTT ini sudah banyak yang mengalami tekanan di antaranya akibat penebangan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar".

Menurut Diaz, hasil survei yang dilakukan Dinas Kehutanan, Univesitas Nusa Cendana (Undana), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan, potensi mangrove di Nusa Tenggara Timur cukup besar dapat ditemukan di perairan NTT.

Pada wilayah ini, ekosistem ini pada beberapa lokasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya. Hutan mangrove di NTT tidak sebanyak di pulau-pulau besar di Indonesia karena kondisi alam di NTT yang membatasi pertumbuhan mangrove, seperti kurangnya muara sungai yang besar di NTT sehingga pertumbuhan mangrove yang ada sangat tipis. Di beberapa lokasi mangrove dapat tumbuh dengan baik karena didukung muara sungai besar dengan sedimentasi yang cukup tinggi seperti di muara sungai Benenain di Kabupaten Belu dan muara sungai Noelmina di Kabupaten Kupang.

Mantan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) NTT ini lebih lanjut mengatakan, hasil survei Dinas Kehutanan, UNDANA, dan IPB juga berhasil mengidentifikasikan 11 spesies mangrove di Pulau Timor, Rote, Sabu, dan Semau. Hasil survei itu juga menemukan hutan mangrove di NTT, terdapat kurang lebih sembilan famili yang terbagi dalam 15 spesies bakau genjah (Rizophora mucronata), bakau kecil (Rizophora apiculata), bakau tancang (Bruguera), bakau api-api (Avecinnia), bakau jambok (Xylocorpus), bakau bintaro (Cerbera mangkas), bakau wande (Hibiscus tiliacues) .Namun, keberadaan spesies ini, sebagai salah satu sumber daya pesisir dan laut NTT, terdegradasi yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) dalam mendukung pembangunan daerah.

Di NTT, degradasi sumber daya pesisir dan laut ini disebabkan tidak saja oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam, seperti perubahan suhu dan salinitas air laut, perubahan iklim, dan ombak keras. Namun dari data yang diperoleh, kerusakan yang lebih banyak dan lebih parah diakibatkan pengaruh antropogenic (aktivitas manusia), antara lain tumpahan minyak dan sampah, tangkapan berlebih (overfishing), penambangan terumbu karang, konservasi menjadi tambak, serta pengeboman ikan dengan potasium dan sianida. kompas.com

2.2. Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif.Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai. (Arief, 2009)

Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO (1982) : mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Istilah mangrove merupakan perpaduan dari dua kata yaitu mangue dan grove. Di Eropa, ahli ekologi menggunakan istilah mangrove untuk menerangkan individu jenis dan mangal untuk komunitasnya. Hal ini juga dijelaskan oleh Macnae (1968) yang menyatakan bahwa kata nmangrove seharusnya digunakan untuk individu pohon sedangkan mangal merupakan komunitas dari beberapa jenis tumbuhan.

Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang).

Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum (Soerianegara,1993). Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Nybakken, 1986; Soerianegara, 1993). Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1986).

Secara umum komunitas hutan, termasuk hutan mangrove memiliki karakteristik fisiognomi yaitu dinamakan sesuai dengan jenis yang dominan berada di suatu kawasan. Misalnya di suatu kawasan hutan mangrove yang dominan adalah jenis Rhizophora sp maka hutan tersebut dinamakan hutan mangrove Rhizophora.

2.3. Pengertian Ekologi Mangrove

Dilihat dari statusnya, suatu lingkungan hutan mangrove dapat bersifat terbuka, terlindungi atau dapat berupa tepian sungai. Ketiganya mempunyai ciri masing-masing yang perlu diperhatikan dalam penentuan lebar jalur hijau hutan mangrove. Pada lingkungan mangrove terbuka, umumnya pantainya datar dan landai serta berhadapan langsung dengan laut terbuka. Dalam keadaan seperti ini lingkungan tersebut rawan terhadap gangguan ombak pada musim-musim angin tertentu dan arus laut. Kondisi seperti in terhadap pada lingkungan hutan mangrove berupa dataran tinggi dan sebagian kecil dataran pulau. Untuk lingkungan terlindungi dilindungi dari pengaruh gelombang dan arus laut oleh deretan pulau-pulau, atau lingkungan ini merupakan pantai sebuah teluk. Formasi lingkungan ini menciptakan kondisi air tenang yang cocok untuk kehidupan hutan mangrove. Kondisi seperti ini terdapat pada lingkungan hutan mangrove berupa delta dataran lumpur dan dataran pulau.(……,1999)

Secara umum komunitas hutan, termasuk hutan mangrove memiliki karakteristik fisiognomi yaitu dinamakan sesuai dengan jenis yang dominan berada di suatu kawasan. Misalnya di suatu kawasan hutan mangrove yang dominan adalah jenis Rhizophora sp maka hutan tersebut dinamakan hutan mangrove Rhizophora. (Soerianegara, 1998)

Bentuk vegetasi dan komunitas mangrove terdiri dari 3 zone mangrove berdasarkan distribusi, karakteristik biologi, kadar garam dan intensitas penggenangan lahan yaitu:

2.3.1. Vegetasi Inti

Secara lebih luas dalam mendefinisikan hutan mangrove sebaiknya memperhatikan keberadaan lingkungannya termasuk sumberdaya yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka Saenger et al. 1983 mendefinisikan sumberdaya mangrove sebagai :

1. Exclusive mangrove, yaitu satu atau lebih jenis pohon atau semak belukar yang hanya tumbuh di habitat mangrove

2. Non exclusive mangrove, yaitu setiap jenis tumbuhan yang tumbuh di habitat mangrove, dan keberadaannya tidak terbatas pada habitat mangrove saja

3. Biota, yaitu semua jenis biota yang berasosiasi dengan habitat mangrove

4. Proses (abrasi, sedimentasi), yaitu setiap proses yang berperan penting dalam menjaga atau memelihara keberadaan ekosistem mangrove. Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi

Jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.

Jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona intertidal yang mampu bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta. Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki pneumatophore atau akar napas, bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan garam. Lima jenis mangrove paling utama adalah Rhizophora mangle. L., R. harrisonii leechman (Rhizoporaceae), Pelliciera rhizophorae triana dan Planchon (pelliceriaceae), Avicennia germinans L ( Avicenniaceae) dan Laguncularia racemosa L. gaertn. (Combretaceae).

2.3.2. Vegetasi Marginal

Jenis ini biasanya dihubungkan dengan mangrove yang berada di darat, di rawa musiman, pantai dan/atau habitat mangrove marginal. Meskipun demikian vegetasi ini tetap tergolong mangrove. Jenis Conocarpus erecta (combretaceae) tidak ditemukan di dalam vegetasi mangrove biasa. Mora oleifera (triana), Duke (leguminosae) jumlahnya berlimpah-limpah di selatan pantai pasifik, terutama di semenanjung de osa, dimana mangrove ini berkembang dalam rawa musiman salin (25 promil). Jenis yang lain adalah Annona glabra L. (Annonaceae), Pterocarpus officinalis jacq. (Leguminosae), Hibiscus tiliaceus L. dan Pavonia spicata killip (Malvaceae). Jenis pakis-pakisan seperti Acrostichum aureum L. (Polipodiaceae) adalah yang sangat luas penyebarannya di dalam zone air payau dan merupakan suatu ancaman terhadap semaian bibit untuk regenerasi.

Vegetasi fakultatif marginal

Carapa guianensis (Meliaceae) tumbuh berkembang di daerah dengan kadar garam sekitar 10 promil. Jenis lain adalah Elaeis oleifera dan Raphia taedigera. Di daerah zone inter-terrestrial dimana pengaruh iklim khatulistiwa semakin terasa banyak ditumbuhi oleh Melaleuca leucadendron rawa ( e.g. selatan Vietnam). Jenis ini banyak digunakan untuk pembangunan oleh manusia. Lugo dan Snedaker (1974) mengidentifkasi dan menggolongkan mangrove menurut enam jenis kelompok (komunitas) berdasar pada bentuk hutan, proses geologi dan hidrologi. Masing-Masing jenis memiliki karakteristik satuan lingkungan seperti jenis lahan dan kedalaman, kisaran kadar garam tanah/lahan, dan frekuensi penggenangan. Masing-masing kelompok mempunyai karakteristik yang sama dalam hal produksi primer, dekomposisi serasah dan ekspor karbon dengan perbedaan dalam tingkat daur ulang nutrien, dan komponen penyusun kelompok.

2.3.3. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan

2.4. Sedimentasi

Sedimentasi adalah hasil dari proses erosi dari berbagai bentuk secara topogravi.hasil sediment (sediment yield) adalah besarnya sediment yang berasal dari erosi yang yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Sediment yang sering kita jumpai di dalam sungai, baik terlarut atau tidak terlarut, adalah merupakan produk dari pelapukan batuan induk yang dipengaruhi oleh factor lingkungan, terutama perubahaniklim. Hasil pelapukan batuan induk tersebut biasanya dikenal sebagai partikel tanah. Partikel-partikel tanah yang terkelupas dan terangkut ke tempat yang lebih rendah untuk kemudian masuk ke dalam sungai di kenal sebagai sediment. Oleh adanya transport sediment dari tempat yang tinggi ke tempat yang hilir maka dapat menyebapkan pendangkalan waduk, sungai, saluran irigasi, dan terbentuknya tanah-tanah baru disekitar pinggir-pinggir dan di delta-delta sungai. Asdak(1995)


2.5. Faktor-Faktor Ekologi Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove

2.5.1. Fisiogravi Pantai

Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh (Santoso, 2000)

2.5.2. Pasang

Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut:

  • Lama pasang

1. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut

2. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal.

3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme

  • Durasi pasang

1. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.

2. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.

  • Rentang pasang (tinggi pasang):

Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora apiculata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi. (Indriyanto, 2006)

2.5.3. Gelombang dan Arus

1. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.

2. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.

3. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove

4. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut.

2.5.4. Iklim

Parameter yang utama dalam iklim adalah Suhu udara, Angin, dan Curah hujan. bagi hutan mangrove di Indonesia, angin dan suhu udara barangkali tidak besar pengaruhnya terhadap kehidupan hutan mangrove karena variasi geografis maupun musimannya tidak besar. Dengan demikian parameter iklim yang cukup besar pengaruhnya hanyalah curah hujan.

Pada umumnya hutan mangrove tumbuh dengan baik di daerah yang beriklim basah seperti Pantai Timur Sumatera, Pantai Selatan Kalimantan, Pantai Selatan Irian. Namun mangrove juga dapat tumbuh pada pantai-pantai beriklim kering seperti Nusa Tenggara Timur, Bali walaupun pertumbuhannya lambat.

Khusus dalam masalah penentuan lebar jalur hijau hutan mangrove, pertama yang harus diperhatikan adalah kondisi lingkungan hutan mangrove dan status lingkungan kemudian baru substrat pembentuk, hidrologi, iklim dan peruntukkan lingkungan ( konversi lahan ). Menurut Haeruman H JS, 1986, lebar jalur hijau hutan mangrove, ditetapkan berbeda untuk keperluan suaka alam, hutan mangrove produksi dan hutan mangrove untuk keperluan perlindungan pantai dan estetika.

Menurut Keputusan Presiden No: 32 tahun 1990, kriteria kawasan pantai berhutan bakau ( kawasan lindung ) adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Rumusan ini baru memperhatikan status lingkungan mangrove yang terbuka ( seperti: lingkungan hutan mangrove dataran pantai ), karena penelitiannya baru dilaksanakan pada satu lokasi yaitu daerah S. Saleh, Sumatera Selatan yang dikenal dengan status lingkungan terbuka, karena pada musim-musim angin tertentu, daerah ini ombak dan anginnya cukup kuat, sehingga apabila daerah ini dikonversi maka akan terjadi abrasi pantai yang cukup besar, seperti yang terjadi di daerah bagian timur pantai Lampung dan Sumatera Selatan serta pantai utara Jawa yang dibuat tambak tanpa mempedulikan jalur hijau.

Pengaturan lebar jalur hijau untuk daerah terlindungi oleh pengaruh ombak dan angin ( seperti delta, dataran lumpur dan pulau ), yang pemanfaatannya sering diperuntukkan untuk pengusahaan hutan ( Hutan Mangrove Produksi ), diatur dalam Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau No. 60 tahun 1978, dimana jalur hijau ditetapkan 50 meter dari tepi hutan yang menghadap ke laut dan 10 meter dari tepi hutan yang menghadap ke sungai (“ sungai pasang surut “ ). Cara penentuan lebar jalur hijau tersebut diatas cukup realistis, karena sudah mempertimbangkan lingkungan hidup hutan mangrove dan status lingkungan serta kondisi hidrologi, sementara substrat pembentuk dan iklim sangat sulit dijadikan parameter penentu.

Pemanasan global akibat perubahan iklim selain menaikkan permukaan air laut akibat pemuaian volume air dan pencairan salju, juga menaikkan suhu air laut. Hal itu akan berpengaruh terhadap interaksi laut dan atmosfer, yang selanjutnya akan mempengaruhi perubahan iklim.

Perbedaan temperatur antara udara diatas daratan dan lautan menimbulkan angin sepanjang garis pantai y ang kuat. Sedangkan perbedaan temperatur air laut dan di dasar laut akan menimbulkan arus keatas (up willing). Bila h al ini terjadi dengan intensitas yang tinggi diduga akan menambah frekuensi peristiwa siklon tropis yang disertai perluasan wilayahnya. Suhu permukaan air laut yang tinggi kemungkinan meningkatkan terjadinya El Nino y ang mengakibatkan. Wibowo, (1990)

Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Cahaya

· Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove

· Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove

· Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya

· Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.

2. Curah hujan

· Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove

· Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah

· Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun

3. Suhu

· Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)

· Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang

· Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C

· Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C

4. Angin

· Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus

· Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove

2.6. Salinitas

1. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ‰

2. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan

3. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang

4. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air

2.7. Oksigen Terlarut

1. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.

2. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis 3. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari

2.8. Substrat

Dari segi substrat dasar, hutan mangrove dapat tumbuh pada substrat dasar pasir, lumpur, koral maupun batu-batuan. Pertumbuhan terbaik terdapat pada substrat dasar lumpur (misalnya: Teluk Bintuni Irian, Cilacap, Muara Musi- Banyuasin, Batu Ampar Kalimantan Barat, Muara Sungai Indragiri Hilir) pada substrat dasar lainnya, pertumbuhan umumnya kurang memuaskan, dan cenderung lambat (seperti Bali, NTB,NTT, pulau Batam, dan sekitarnya, Bunaken, Kepulauan Aru), efek penebangan hutan terhadap ekosistem pantai didaerah seperti ini akan sangat terasa karena proses regenerasi akan berjalan lambat. Bertolak dari kenyataan ini, penetapan lebar jalur hijau tentu harus berbeda dengan di daerah yang relatif subur (pohon yang tumbuh pada substrat lumpur). (Mulia, 1993)

Jenis-jenis supstrat yang di timbuhi angrove di Indonesia antara lain:

1. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove

2. Rhizophora mucronata sp dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur

3. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir

4. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat

5. Konsentrasi kation Na, Mg, Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia/Sonneratia/Rhizophora/Bruguiera

6. Mg, Ca, Na atau K yang ada adalah Nipah

7. Ca, Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca. (Fauziah, 2004)

2.10. Peran Mangrove

Hutan bakau atau hutan mangrove memiliki beberapa nilai penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis keberadaan hutan mangrove merupakan suatu ekosistem penyangga bagi kawasan pesisir secara luas. Keberadaan hutan mangrove layaknya satu mata rantai yang tidak dapat terpisahkan dengan ekosistem lainnya, yaitu ekosistem vegetasi hutan pantai, padang lamun, dan terumbu karang. Kehancuran salah satunya merupakan ancaman bagi ekosistem lainnya. Terlebih perannya sebagai pelindung bagi daratan yang berdekatan langsung dengan ekosistem mangrove. Ikan, udang, kepiting, dan organisme lainnya menempatkan kawasan mangrove sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk bertelur (spawning ground), dan daerah untuk mencari makan (feeding ground). Hal tersebut menunjukan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi bagi biota perairan tersebut.

Secara ekonomis, kawasan mangrove dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat sekitar melalui berlimpahnya ikan, udang, kepiting, maupun organisme ekonomis lainnya. Kayu dari pohon mangrovepun merupakan salah satu bahan baku arang yang baik. Pemenuhan kebutuhan bahan baku arang dari kayu mangrove dapat dilakukan melalui upaya pengelolaan yang bijaksana, bukan memangkas habis hutan mangrove nya. Bagian lainnya (daun dan buah) dari pohon bakau pun dapat dijadikan produk kerajinan maupun makanan. Kemandirian masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove dapat dilihat dari seberapa arif warganya dalam memenuhi kebutuhan hidup dari alam dengan diolah dan dikelola tanpa harus merusaknya.

Sedangkan secara social mangrove dapat di jadikan sebagai tempat wisata, rekreasi atau tempat melakukan penelitian-penelitian dalam hal ini berhubungan erat dengan sisi ekonomi karena mampu menambah tambahan nilai PAD (Pembangunan Asli Daerah). Firman, (2009)

BAB III

METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan berlangsung pada bulan pebruari-maret tahun 2010 di pesisir pantai oesapa kecamatan kelapa lima kota kupang

3.2. Materi Penelitian

Materi penelitian meliputi alat dan bahan yang digunakan pada penelitian lapangan (Mangrove) jenis Rhizophora apiculata sp antara lain:

Tabel 1. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan Bahan

Satuan

Kegunaan

Alat :

Tali rafia

Meter roll

Salino meter

Thermometer

Buku

Pena

Kamera

Bola dan tali

Bahan :

Mangrove

M

M

Oc

-

-

-

m

Anakan

Untuk Membuat Kapling

Menentukan Sampling

Untuk Mengukur Salinitas

Untuk Mengukur Suhu Tanaman

Wadah Untuk Menulis

Alat Untuk Menulis Data

Alat untuk melakukan dokumentasi

Untuk mengukur laju sedimentasi

Sampel Penelitian

3.3. Pengumpulan Data

Adapun data yang diambil dilakukan dengan metode survey dengan cara langsung turun ke lokasi penelitian, sehingga penulis langsung berhadapan dalam arti melihat langsung tingkat pertumbuhan mangrove tersebut dengan menggunakan metode gubuk bambu. Prosedur kerja yang akan dilakukan antara lain:

1. Melakukan sampling terlebih dahulu pada area mangrove yang telah ditentukan

2. Melakukan pengukuran tinggi pada anakan mangrove

3. Pengukuran diameter pohon dan jumlah daun

4. Melakukan analisa terhadap faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan mangrove.

5. Mengukur laju sedimentasi dengan melepas bola yang diikat dengan tali mengikuti arus

6. Mengukur faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove

3.4. Analisa Data

Data yang akan di analisa di lakukan dengan menggunakan rumus pertumbuhan menurut Fauziah (2004) sebagai berikut:

Sedangkan untuk mengukur laju sedimentasi maka di gunakan rumus:

V=L/t

Dimana:

V= Kecepatan aliran air (m/detik)

L= Jarak 2 titik pengamatan

T= Waktu yang diperlukan dalam melakukan pengmatan (detik)

Adapun teknik pengukuran factor-faktor oecanografi dan ekologi dilakukan dengan cara:

1. Suhu

1 Termometer dicelupkan pada kedalaman 15-20 cm dari permukaan selama 1-2 menit agar angka pada skala menjadi konstan

2. Melihat hasilnya dengan cara bagian bawah tetap berada di dalam air agar tidak terjadi perubahan pada saat pembacaan nilai temperatur

3. Mencatat nilai yang tertera pada skala.

2. Kecerahan

Kecerahan diukur setiap hari pada pukul 08.00-12.00 waktu setempat dan dilakukan pengukuran di empat titik berbeda pada seribu anakan mangrove (Rhysophora apyculata sp). Pengukuran dilakukan menggunakan secchi disk dengan skala 1 cm. Pengukuran kecerahan dilakukan dengan cara :

1. Menenggelamkan sechi disc ke dalam air secara pelahan-lahan sampai tidak terlihat

2. Dari kedalaman tersebut sechi disc ditarik secara perlahan sampai terlihat

3. Batas pada papan skala antara titik saat tidak terlihat dan terlihat kembali merupakan nilai kecerahan perairan.

3. Kecepatan Arus

Kecepatan arus diukur setiap hari pada pukul 08.00, 12.00 waktu setempat di oesapa (lokasi penelitian). Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan top dall. Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan cara :

1. Top dall yang terikat di tali dilepas dan pada waktu yang bersamaan stopwatch diaktifkan untuk menghitung waktu tempuh

2. Setelah tali menegang pada jarak 5 meter, stopwatch dimatikan

3. Nilai kecepatn arus adalah panjang tali dibagi waktu tempuh.

4. Salinitas

Salinitas diukur setiap hari pada pukul 08.00, 12.00 waktu setempat di lokasi penelitian. Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan Hand Refraktometer. Pengukuran salinitas dilakukukan dengan cara :

a. Kalibrasi

1) Mencuci prisma refraktometer dengan air akuades kemudian dikeringkan dengan menggunakan tissue

2) Prisma refraktometer diteteskan dengan air akuades dan ditutup

3) Mengamati nilai salinitas pada skala apabila sudah menunjukkan angka 0 maka refraktometer siap digunakan.

b. Mengukur salinitas

1) Air sampel diteteskan pada prisma refraktometer

2) Menutup prisma yang telah diteteskan air sampel

3) Mengamati nilai salinitas pada skala.

DAFTAR PUSTAKA

………1999. Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produk Lestari. Lembaga Ekolabel Indonesia.

Arief, A. 2009, Hutan Hakekat dan Pengeruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pngelolaan Daerah Aliran Sungai. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Fauziah. Y. Nursal dan Supriyanti. 2004. Struktur dan Penyebaran Vegetasi strata Sampling di Kawasan Hutan Mangrove Pulau Bengkalis Propinsi Riau.

Firman Asep. 2009. Mangrove dan Perubahan Iklim. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Mulia, F. 1993. Usulan Penyempurnaan Sistem Silvikultur Hutan Mangrove.

Santoso. N. H. W. Arifin. 2004. Rehabilitasi Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia.

Santoso. N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Nasional Pengembangan System Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Diwilayah Pesisir Tropis. PT Garamedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.

Soerianegara. I. dan Indrawan. A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institute Pertanian Bogor.

Wibowo. T. T. 1990. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ekosistem Alami. Sidang Second World Climate Programme (SWCP). Jenewa

3 komentar:

  1. haloo kak...ini kaka penelitian untuk tugas akhir ko???
    bisa diliat dimana ya penelitian lengkapnya??
    oya kesimpulannya apa kak??
    makasi

    BalasHapus
  2. hallo ka,, aku tertarik sama jurnal kaka yg ini apa ini jurnal penelitian kk???? aku mw lihat jurnal penelitian ini secara lengkapnya dong, boleh gak??? aku bisa liat dmana ya??? soalnya buat referensi saya,,,,

    makasih,,
    tolong di balas ya,,

    BalasHapus
  3. maaf sebelumnya...untuk yg pengaruh DO itu referensinya tidak di cantumkan...
    nuwun

    BalasHapus